31

1.5K 235 13
                                    

"Kau siapa?"

Hembusan angin hangat menerpa mereka, membelai helaian rambut terutama milik Tara. Rambutnya beterbangan tak teratur, namun ia masih bergeming. Tatapannya setajam elang predator yang tengah mengawasi mangsanya. Tara benar-benar serius saat ini, seolah tak akan melepaskan Refal begitu saja.

Memecahkan keheningan diantara mereka Refal tertawa kecil. "Apa maksud anda, Nona? Tentu saja aku adalah aku."

Refal bisa melihat, dari tatapan Tara yang mengarah padanya, ia sama sekali tak puas dengan jawabannya. Tapi ia tak tahu jawaban seperti apa yang diinginkan gadis itu. Sekalipun ia tahu, ia pun tak akan memberikan jawaban seperti yang Tara mau.

"Rumor itu beredar luas di masyarakat, entah benar atau salah aku hanya menerimanya. Itu kesalahanku kalau aku mengatakan hal yang salah." Lanjutnya lagi sambil berlutut.

Dengusan kasar Tara terdengar angkuh. "Kau pikir aku akan percaya?"

Berputus asa dengan seberapa keras kepalanya Tara, Refal cuma bisa mendongak dengan melas. "Aku tak tahu jawaban apa yang akan memuaskan anda, Nona."

Kali ini gadis itu membuang mukanya dengan helaan nafas yang terdengar kuat. Sejenak ia menyisir rambut terurainya dengan tangan, lalu pergi begitu saja dari atap tanpa mengatakan apapun pada Refal. Meninggalkan laki-laki itu yang berusaha bangkit lalu menepuk-nepuk celananya dari debu.

Wajahnya yang tadinya lembut mendadak serius, tangannya pun melonggari kemejanya yang terasa sesak.

Ia bahkan tak tahu apa yang terjadi di sini.

***

Langkah kaki gadis itu lebar dan cepat, tak terlalu tergesa namun menguarkan aura tegasnya. Sedikit kesombongan nampak dari sudut antara dagu dan lehernya, namun memang begitulah standar berjalan bangsawan pada dunia aneh Tara saat Jean belajar etiket.

'Kan..'

Suara tengil Jean mengintrupsi ditengah semruwetnya mood Tara. Rasanya cukup buruk dan kuat untuk meratakan gedung C ini.

'Aku tak ingin mendengar apapun darimu.'

'Bandel sih, gue bilang juga apa. Gue tau dia suspicious, tapi kalo nanya itu dengan terang-terangan ke dia, dia bakalan waspada.'

Akal sehatnya kini mulai berjalan lurus, membenarkan apa yang diucapkan Jean. Tara benci mengakuinya, tapi mendengar percakapan antara Alven dan Ellya membuatnya kehilangan kendali. Ia tak bisa berpikir jernih.

Sesuatu dalam dirinya merasa kesal, sakit, tak terima, tapi ia tak tahu mengapa. Harusnya ia tak perlu marah mendengar bahwa ia bukan orang yang diinginkan Ellya.

Tidak, ia tidak marah?

Lantas mengapa ini sakit?

Bahkan ia juga tak pernah menginginkan Ellya dalam hidupnya, tidak sedikitpun. Bukankah sejak awal mereka memang tak pernah akur, mereka saling membenci. Tentu saja, Tara hanya tak jujur dengan gagasan itu dan membuat hatinya tak nyaman. Sekarang ia akan segera baik-baik saja.

Tapi tetap saja nyeri di ulu hatinya tak menghilang.

'Jean, mau bertukar?'

Meski tak paham kenapa Jean menurut saja dan mengambil alih raga gadis itu, sampai begitu membuka matanya erangan kesal Tara terdengar.

Dream With SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang