Extra : Jean

875 126 59
                                    

Suara tepuk tangan meriah menggema di dalam sebuah auditorium megah milik sekolah swasta. Mengapresiasi gadis cantik yang berdiri dengan bangga memamerkan nilai ujian tertinggi se-provinsi nya di panggung. Tentu saja satu sekolah bangga, tak terkecuali orang tuanya dan Jean yang duduk di posisi tengah.

Heh.. itu masih gadis favoritnya.

Dari dulu sampai sekarang.

"Reana."

Jadi Jean pikir ia juga akan mengungkapkan perasaannya. Hei hidupnya cuma sekali, belum tentu hari ini ia bernafas dan besok juga sama. Lagipula pernah mengalami diambang hidup dan mati membuatnya sadar bahwa nggak ada yang perlu disadari di hidup ini. Biar saja mengalir apa adanya.

Reana nampak terkejut, tapi terlihat dari asuhan baiknya, ia segera menyesuaikan emosinya dan tersenyum ringan.

"Terima kasih. Aku gak tau apa yang kamu suka dari aku, tapi bisa dikagumi oleh orang sehebat kamu juga membuat aku lebih termotivasi untuk jadi lebih baik kedepannya." Ia menjawab tanpa keraguan tapi sebuah penyesalan dapat terlihat dari gestur tubuhnya yang nampak kikuk.

Sebuah batu besar yang selama ini menindih ujung hati Jean lepas begitu saja.

Ya.. tak seburuk itu. Pikirnya ditolak akan membuatnya sakit hingga menangis.

"Ya kamu pantas aja." Jean menunduk memperlihatkan bulu mata lentiknya yang terkulai lalu mengangkat kepalanya dengan senyum hangat, "terima kasih." Karena sudah pernah jadi motivasinya bertahan hidup.

"Maaf." Ucap gadis itu.

Terima kasihnya dibalas maaf, tidak apa-apa mungkin memang tak semua bisa dibalas sama-sama.

Jean lalu berbalik dan pergi. Langkahnya ringan tanpa beban maupun penyesalan. Punggungnya juga tegak, bukti bahwa ia tanpa keraguan maupun rasa malu.

Itu penolakan paling indah dalam hidupnya.

Setidaknya ia mengakuinya, tidak seperti bajingan Tara si tsundere kecil menyebalkan itu. Bagaimana kabarnya ya..

***

Jean pikir ia akan berkunjung ke sini setidaknya sekali seumur hidupnya, untuk mendoakan pria bodoh yang bermain-main dengan takdirnya, sebelum akhirnya pergi dari tanah kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan.

Filo duduk di kursi samping pengemudi beberapa kali meliriknya. "Lo beneran harus pergi?"

"Ya menurut lo?"

"Tar gue main sama siapa Jean?"

"Sama Laura."

"Tapi dia gak seasik lo Jean! Tar gue disuruh belajar mulu."

"Ya siapa suruh lo males belajar."

"Idih. Babi lo." Pada akhirnya cowok itu cuma bisa memaki.

Kekehan ringan terdengar dari pria yang memegang setir kemudi.

"Nanti kamu main sama saya." Jawaban Werza membuat Jean geli.

"Janji ya, awas kalo kamu sibuk sama kerjaanmu!"

Jauhkan dia dari kaum-kaum bucin ini. Bajingan-bajingan ini mana bisa memahami perasaannya yang baru saja confess tapi ditolak.

Ia menatap pepohonan hijau yang bergerak mundur, sesaat kemudian pada pedagang asongan di pinggir jalan, lalu jatuh pada pengendara mobil yang tengah memberhentikan mobilnya di samping mobil mereka.

Dream With SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang