Remaja laki-laki itu menarik pergelangan tangan Tara yang bebas lalu membawanya mengikutinya. Namun langkah mereka terhenti karena satu tangannya yang lain masih terkait dengan tangan Ellya. Gadis itu mogok di tempat, menatap tajam Refal dengan tatapannya yang menusuk.
Angin bertiup pelan di tengah hutan sore itu, mendukung suasana menegangkan yang diciptakan mereka, bersamaan dengan aura kemarahan Ellya yang tak bisa disembunyikan.
Laki-laki itu jelas bergidik. Ia sudah pernah melihat sisi mengerikan Ellya di lain cerita, dan yang kali ini.. bagaimana kemarahan berbingkai di wajahnya cukup untuk membuatnya berpikir dua kali untuk mengusiknya.
"Pergilah. Tak akan ada yang mengusikmu!" Refal mengusirnya dengan tenang, tidak.. ia cuma berusaha terlihat tenang.
Memangnya siapa yang masih bisa tenang di situasi seperti ini? Menjadi buronan dan bermain sembunyi kejar di tengah hutan yang makin gelap. Cuma idiot yang akan tenang.
"Tidak." Jajaran alis Ellya membentuk bukit, mengerut dengan kekesalan, lalu menatap Tara, "Tara, kau akan pergi dengannya?"
Tara sedikit terkejut, cengekeraman gadis itu makin mengerat pada pergelangan tangannya. Ellya cenderung tak berekspresi dan sekarang ia melihatnya yang berwajah kesal. Itu pertama kali untuknya. Bahkan saat ia membuat bola panas megenai mukanya ia cenderung tak peduli dan memaafkannya secara cuma-cuma.
Tapi keadaan saat itu dan saat ini berbeda, wajar ia kesal. Ia baru saja diculik, dipaksa makan dengan tak layak dan sekarang ia terluka. Bahkan seorang petapa suci sepertinya punya batas kesabaran.
"Tara.. kau akan mempercayainya setelah semua yang ia lakukan?" Meski suaranya terdengar tenang, Tara bisa merasakan kekhawatirannya. Mendengarnya pun Tara jadi meragukan keputusannya sendiri yang hendak mengikuti Refal.
Laki-laki itu berusaha membela diri.
"Jean, kau tahu aku kan.."Tatapan dewasa itu bukan Refal, itu memang Ethan.
"Ethan, aku bukan Jean." Tara menatap pergelangan tangannya yang masih berada di genggaman Ethan.
Hembusan nafas Ethan terdengar diantara senyapnya suasana hutan. Suara binatang dan serangga yang mulai keluar dari sarang menambah eksekusi kesan tegang yang kini meliputi mereka bertiga.
"Demi tuhan, aku akan menyelamatkan kalian." Ia berujar putus asa menekuk kedua kakinya seolah memohon pada Tara. "Jadi berjanjilah jangan mati."
Ellya tersulut, nyeri di kakinya yang luka bahkan tak sepadan dengan kekesalannya melihat Refal yang berlagak sok baik sekarang. "Omong kosong apa yang kau bicarakan." Ujarnya dengan nada yang teramat dingin.
Suara gemuruh langkah kaki mengintrupsi ketegangan ketiganya, Ethan yang pertama kali bereaksi membawa keduanya melewati jalan setapak, sebuah bangunan tua menunggu di sana. Laki-laki itu berusaha membukanya, tapi pintu kayu berbingkai besinya enggan terbuka.
"Sialan." Umpatnya.
Tara melirik Ellya, ia bisa merasakan bagaimana gadis itu berjalan terpincang-pincang mengikuti ia dan Ethan. Lukanya hampir mengering, tapi tetap saja itu menyakitkan, entah bagaimana kulit sehalus porselen antik itu bisa mendapatkannya.
"Duduklah, itu akan semakin menyakitkan kalau kau terus memaksakannya." Ujarnya lalu menatap Ethan yang masih berusaha mencungkil knop pintu.
"Kita akan segera ditemukan kalau kau terus membuat keributan."Ethan menyerah, nafasnya terengah sambil tangannya berkacak pinggang. "Ada ruang penyimpanan kayu bakar di samping, kita akan bersembunyi di sana untuk sementara."
***
Asap tipis sisa pembakaran kayu yang tak sempurna dalam ruangan lembab sempit itu membumbung tinggi dan beberapa memaksa keluar dari celah jendela yang sengaja Jean buka saat masuk. Disampingnya, malaikat tak bersayap tertidur sambil menyandar padanya. Ellya mungkin benar-benar kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream With Sleep
FantasyDream With Sleep adalah novel karya Bolli Ethan yang ke-3 sekaligus terakhirnya sebelum sang penulis wafat. Kabarnya, novel ini mencari tumbal kematian tiap tahunnya. Namun bagaimana jadinya jika ternyata dibalik kematian itu ada kehidupan baru yang...