32

1.5K 234 26
                                    

Aroma oli tua dan besi berkarat tercium begitu kuat kala Tara tersadar. Ia meringis merasakan kepalanya yang nyeri seperti dihantam palu, berdenyut berkali-kali. Apalagi lampu putih cerah di atas kepalanya sama sekali tak membantu makin membuat denyutnya menjadi-jadi.

Begitu membuka mata, ruangan besar penuh mobil tua jadi latar tempatnya. Ia menoleh kesana kemari, lalu menatap pada kedua tangannya yang diikat dengan tali yang begitu kuat terkulai lemas diatas paha. Tubuhnya sendiri juga diikat kekursi. Ia menatap gurat kemerahan yang menghiasi kulit putihnya, perawatan kulit mahalnya benar-benar tak ada harga diri lagi begitu ia berada disini.

Sedangkan beberapa meter darinya Lordy masih tertidur, posisinya sama sepertinya, terikat diatas kursi.

Suara pintu besar yang terbuka mengambil atensi Tara. Ia masuk membawa 2 ember plastik di kedua tangannya, tampaknya air, entah untuk apa.

"Oh, kau bangun?"

"Apa maumu?"

Laki-laki itu tertawa kecil lalu berjongkok di hadapan Tara. "Ssst.." ia berisyarat dengan telunjuk di depan bibir. "Nanti pangeran dan tuan putri bisa bangun."

"Aku sudah bangun."

Ia mengangguk. "Benar, tapi dia belum." Tunjuknya pada seorang gadis lain yang sempat luput dari perhatian Tara. Ia terduduk sedikit jauh darinya dan Lordy.

Tubuhnya terikat dengan tali, terduduk bersandar pada salah satu mobil. Ia masih tak sadarkan diri. Melihatnya membuat Tara benar-benar kesal.

Rahang Tara mengetat, ia tak peduli kalau suaranya meninggi. "Apa maumu?"

Refal tersenyum kecil.
"Tak ada." Ia lalu berdiri. "Tapi aku penasaran denganmu."

"Apa Nyonya Aeden yang menyuruhmu melakukan hal ini?"

"Tidak, ini murni keinginanku sendiri."

"Lepaskan aku dan mereka berdua."

"Tidak semudah itu."

"LALU APA?" Tara membentak kesal. Ia benar-benar ingin marah saat ini.

"Ahh.. ya. Kau memang seorang gadis yang pemarah kan? Tak perlu berlagak sok sabar dan sok bijak. Karena memang begitulah bentuk karaktermu seharusnya." Tangan kanannya meraih dagu Tara menolehkannya ke kanan dan kiri.
"Aku masih penasaran apa yang membuatmu jadi begitu baik."

Ia lalu berkacak pinggang, "apa ada hubungannya dengan jiwa yang kau makan?"

"Jiwa?"

Refal menggeleng, tangannya mengelus-elus pucuk kepala Tara yang meronta dengan jijik. "Kau anak-anak tak akan paham."

Tara berdecih. "Seorang bocah mengataiku bocah?"

Refal cuma tersenyum. "Teruslah bersikap tidak sopan dan aku bisa mengirimmu ke neraka secepatnya."

Tara bergeming, menatap tajam laki-laki itu dengan begitu sengit. Dalam hati ia menahan nyeri dari ikatan tali sintetis di tubuhnya yang membuatnya sesak sekaligus perih di kulitnya.

"Kau.."

"Aku?" Refal bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"SIALAN!"

Refal tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Dimaki seorang Eltara yang manis membuat perutnya tergelitik. Mana bisa ia tersinggung kalau anak kucing dihadapannya terlalu lucu. Iya, lihatlah bagaimana tatapan kesal dan marah itu menyembunyikan ketakutannya.

"Ayahku dulu terbiasa memakiku, jadi ketika orang lain yang melakukannya kepadaku rasanya cuma geli-geli." Ujarnya di sela tawanya. Usai mengendalikan tawanya ia naik ke salah satu kap mobil dekat Tara.

Dream With SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang