Part 1

604 86 109
                                    


Upacara bendera selesai dilaksanakan tepat pukul tujuh lebih empat puluh lima menit. Wajah-wajah kemerahan berpeluh nampak dari ratusan siswa pasca berjemur pagi di hari Senin, menghormat pada Sang Saka yang kini telah berkibar dengan gagahnya di pucuk tiang setinggi 3 meter di sebelah barat lapangan sekolah yang juga berfungsi sebagai lapangan olahraga.

"Bu Runi, besok saya sudah mulai cuti. Saya jadi minta tolong ya, gantikan tugas saya tiga bulan ini."

Arunika ㅡakrab disapa Runiㅡ tersenyum pada rekan kerjanya yang sedang hamil tua itu. Tangannya meraih bahu wanita yang lebih pendek darinya itu sembari membantu menuruni anak tangga yang menghubungkan lapangan sekolah dengan ruang guru.

Kondisi lahan sekolah yang memang berundak karena struktur tanah yang membukit membuat banyak tangga ditambahkan dibeberapa sudut sekolah.

"Bu In, hati-hati loh bu!"

Sebuah tangan meraih lengan kanan Bu Indira, guru bimbingan konseling yang berjalan beriringan dengan Runi. Sosok itu tersenyum lebar, deret gigi putih terlihat. Beberapa kepala muncul dibelakangnya.

"Bu In, besok kalau dedeknya lahir kasih nama Erzan ya buk. Biar ganteng kayak aku."

"Halah, burik aja pede banget. Jelas kasih nama Nana dong. Biar glowing cakep kayak aku! Lagian nama Nana bisa juga buat cewek," ujar anak yang membantu Bu Indi menuruni tangga tadi.

"Heh! Kalian ini jangan berisik, nanti bayinya Bu Indi takut sama kalian," seloroh Runi.

"Mana ada Bunda! Bunda Runi cemburu nih, kita-kita bantuin Bu Indi bukan Bunda Runi," sahut Narendra yang akrab disapa Nana itu.

Runi memasang ekspresi julid pada Nana dan disambut gelak tawa tiga muridnya yang lain. Keseharian seperti itulah yang mewarnai kehidupan wanita dua puluh enam tahun itu.

Jadwal pertama di hari Senin adalah mengajar di kelas XII A.1, kelas yang terletak di lantai tiga gedung sebelah utara. Para siswa sudah mulai masuk ke kelas masing-masing walau di beberapa kelas masih terdengar dengungan riuh obrolan mereka pertanda guru pengampu jam kedua belum masuk kelas.

"Ibu cantik, kenapa sih nggak ngajar di kelas Sosial? Kenapa ngajarnya di kelas anak-anak cupu?"

Salah seorang anak dengan baju tidak rapi menyapa Runi yang melewati lorong kelas Sosial sebelum naik ke tangga lantai tiga.

"Untuk kelas Sosial jatahnya Pak Aryo, Nak. Cepat masuk kelas, rapikan bajunya," kata Runi lembut.

"Eh bu guru cantik perhatian sama aku. Buk, minta nomor WA nya dong," lanjut anak itu dan mendapat sambutan meriah dari rekan-rekan satu komplotannya yang nongkrong di dekat tangga.

Runi menghela nafas dan menggeleng pelan.

"Tidak usah diladeni Bu. Ibu sudah terlambat lima menit ke kelas."

Jeno dan Nana muncul dari arah ruang guru sambil membawa alat praktikum. Runi tersenyum pada dua murid bimbingannya itu.

"Wih, anaknya nongol genk... Nggak seru," ujar siswa itu kemudian pergi.

Jeno dan Narendra hanya melirik mereka sekilas, Runi tersenyum dan segera menaiki tangga ke kelas tujuannya.

"Kalian itu jangan judes-judes sama temen lain. Mereka kasih kalian julukan genk Untouchable."

Jeno terkekeh sedang Narendra memasang tampang imutnya.

"Memangnya kami hantu serem sampai dikatain nggak tersentuh gitu?" tanya Narendra.

Runi mengendikkan bahu.

"Aura kalian serem mungkin?" canda Runi sebelum masuk ke kelas tujuannya.

CAMEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang