Part 16

242 42 25
                                    


Mentari mulai naik menyapa deretan baju basah sudah tergantung dan meminta dikeringkan. Geliatnya ditunggu para ibu yang beberapa hari ini mulai mengeluh pakaian mereka tidak kering, khawatir jika seragam kerja suami dan seragam sekolah anak mereka belum siap saat dipakai. Mbah Uti dijemput kakak sepupu Runi pagi ini, diajak menemani cicitnya jalan-jalan. Aluna memilih bergelung di depan televisi menikmati hari liburnya.

"Dek, Mbak mau nyekar. Kamu mau ikut?"

"Aku ngantuk Mbak. Aku nunggu cucian aja ya dirumah. Nanti paling Resti ke sini."

Runi akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri dengan angkutan umum karena motor kesayangannya sudah dicucinya tadi dan sayang jika harus kotor lagi jika hujan datang tiba-tiba. Bayangan akan Clark semalam masih sangat membekas. Sebuah buket bunga dan sekeranjang bunga tabur dibelinya, di toko bunga yang tak jauh dari makam.

Kaki itu melangkah tanpa perlu dibimbing oleh otaknya, menemukan gundukan tanah yang dituju tanpa harus melihat satu persatu deret makam yang terlihat sama. Seperti biasa, wanita itu akan bersimpuh di depan pusara dengan beralas kertas koran yang sengaja dibawanya dari rumah. Lantunan doa dilangitkan, memohon ketenangan bagi jiwa yang telah berpulang sebagai tanda cinta yang teramat dalam.

Sebuket bunga lily menghiasi batu hitam bertuliskan nama yang tak pernah lekang dari ingatan itu. Taburan mawar merah, mawar putih dan kenanga memenuhi gundukannya. Matahari bertahta namun sinarnya sendu, berselimut awan.

"Bu Runi...."

Jeno, anak laki-laki dengan mata sipit yang sesekali hilang ketika tersenyum.

"Jeno, kamu nyekar juga?"

Anak itu tersenyum dan benar saja, matanya menghilang, tertarik garis melengkung di wajahnya.

"Enggak sih Bu, Jeno baru kerja."

"Kerja? Kamu gali kubur?"

Jeno dan Runi sama-sama tertawa, anak itu duduk di samping sang guru.

"Ini makam siapa Bu? Kayaknya masih muda meninggalnya?"

"Iya, dua puluh satu tahun. Sesingkat itu hidupnya...."

Jeno menatap sang guru, terlihat bekas airmata di wajah ayu itu.

"Calon suamiku, harus pulang secepat itu."

Jeno buru-buru meminta maaf dan mengatakan jika dia tidak bermaksud membuat gurunya bersedih.

"Takdir Jen, bisa apa kita selain pasrah dan ikhlas?"

"Kecelakaan ya Bu? Atau sakit?"

Runi menggeleng. "Sudah lima tahun dan aku juga belum tahu pasti apa penyebab meninggalnya. Keluarganya terlalu kalut waktu itu dan mereka tidak menyelidiki apapun, penyebab kematianya. Sampai saat ini, kami menganggapnya kecelakaan. Walau sebenarnya, motornya tidak apa-apa. Motor milik Clark dikembalikan pada keluarganya sehari setelah pemakaman, dalam kondisi utuh dan terparkir di salah satu kantor di dekat balai kota."

Jeno menajamkan tatapannya, kemudian membidik nisan yang bertuliskan data diri sang empunya.

"Ibu mau saya bantu memecahkan kasus ini?"

Runi mengamati wajah serius muridnya. "Kamu serius pengen jadi reserse?"

Jeno mengangguk. "Jeno pengen nerusin Eyang. Dari kecil Jeno selalu bawa kamera hadiah dari beliau kemana-mana dan seneng menyelidiki serta memecahkan kasus-kasus kecil-kecilan."

"Tapi Jen, kejadiannya sudah lima tahun lalu. Dan seinget Ibu, kejadiannya sempat diangkat ke media sih tapi waktu itu ibu menyerah karena kakaknya bilang semua keluarga sudah mengikhlaskan jadi ibu berhenti mengumpulkan info."

CAMEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang