Part 31

224 33 0
                                    

Semburat arunika pagi ini tak secantik guratan sang pemilik nama yang sama. Gadis itu kehilangan cahayanya sejak kejadian Minggu malam. Dia bahkan pulang dari rumah sakit tanpa memberitahu sang kekasih.

Adrian mencoba menemuinya sesaat setelah megetahui jika gadis yang dicarinya tak lagi dirawat di rumah sakit. Tapi Runi tak mau menemuinya dengan dalih lelah.

“Sayang, sarapan dulu yuk.”

Runi sedikit terkejut ketika dia mendapati sang kekasih muncul dengan dua kantong plastik. Senyum merekah di wajah sang pria.

“Nggak Mas. Aku takut kesiangan.”

“Sayang, ini baru jam enam kurang kok Nanti kita berangkat sama-sama ya. Aluna, ayo makan dulu.”

Runi biasanya akan menyambut dengan senang hati, namun mengingat kejadian malam itu dia tak ingin lagi mnaruh harap pada sang pria.

“Masih lemes ya?” tanya Adrian lembut.
Hampir saja pertahanan sang gadis luluh saat melihat Adrian dengan  cekatan menyiapkan sarapan dan menerahka pada Aluna. Dia melayani Aluna dengan sangat baik, seperti yang selalu dilakukannya pada sang putri Alila.

“Sini taruh di meja piringnya, biar nggak bikin kotor seragam kalau ada yang jatuh.”

Luna menurut, sembari melirik Runi yang memperhatikan mereka. Selesai mengurusi Aluna, Adrian kembali fokus pada Runi. Dia menghentikan tangan Runi yang akhirnya mau menyendok nasi liwet bungkus yang dibeli Adrian.

“Awas, nanti kotor,” kata Adrian sembari menaikkan sedikit lengan seragam Runi.

Kali ini pertahanan Runi tinggal dua puluh persen dan sekuat tenaga dia tidak menggubris tindakan Adrian yang begitu lembut padanya.

“Run, nanti kamu selesai ngajar jam berapa?”

Guru muda itu tak langsung menjawab, dia menelan suapan nasinya terlebih dulu.

“Empat mungkin.”

“Aku jemput ya? Ada hal yang mau aku omongin.”

“Kenapa nggak sekarang aja?” tanya Runi.

Adrian melirik Aluna yang sedang pura-pura sibuk memperhatikan siaran televisi di ujung ruangan.

“Nanti aja ya?”

Runi mengerti, mungkin hal itu tidak seharusnya didengar oleh Aluna sehingga Adrian mengajaknya bicara sepulang kerja. Ponsel Adrian yang tergeletak di meja makan bergetar, Runi dapat melihat nama Cassie di sana, tapi dengan sekali usap Adrian mematikannya.

“Mas nggak nganter Kak Cassie kerja?”

“Ngapain aku nganter dia? Kamu dan Luna adalah tanggung jawab utamaku.”

“Aku dan Luna bisa berangkat sendiri.”
Tangan Adrian terulur dan mengusap lembut kepala bertudung warna coklat khaki itu.

“Mulai sekarang kamu nggak usah mikirin soal Cassie, aku mau kita fokus dengan hubungan kita.”

Bagi Runi, hal itu seharusnya menjadi angin segar. Tapi, benarkah Adrian tulus? Pertanyaan itu terus saja menghampiri. Dan kalau Adrian tulus, apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka nanti? Keinginan Arjuna untuk menikahinya sepuluh hari lagi tak bisa dia tolak.

***

Setumpuk pekerjaan sudah menunggu Runi, namun mengajar adalah bagian dari hidupnya. Berbincang dengan murid-muridnya membuat suasana hatinya membaik.

“Bu, apa Aluna sudah cerita tentang video yang saya kasih ke dia?” tanya Jeno saat Runi selesai mengajar.

“Video apa? Eh iya, waktu itu ibu kelamaan ya nganterin anak tetangga ibu. Maaf ya, padahal kalian udah sempat-sempatin datang.”

“Em, Bu Runi punya waktu lagi kapan? Saya mulai punya titik terang Bu.”

Percakapan itu terhenti saat keributan terdengar dari bawah tangga. Suara bu Sari terdengar menghentikan perkelahian.

“Berhenti! Cepat!”

Dua anak laki-laki dengan seragam yang sudah acak-acakan itu masing-masing dipegangi oleh rekan masing-masing. Runi segera mengikuti Sari yang menggiring dua anak tadi ke ruang konseling.

CAMEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang