Part 10

274 61 66
                                    


Sore itu, Mbah Uti pulang dari rumah Bude dan kini Runi sedang disidang tiga orang yang duduk menghadapnya. Aroma kopi mengar dari cangkir di tangan Pakde yang terlihat paling tenang diantara dua wanita lain yang sedang menatap Runi. Sejam yang lalu bibinya menyampaikan kabar tentang lamaran Pak Utama pada Runi. Guru berusia hampir dua puluh enam tahun itu hanya diam dan mendengarkan cerita dengan seksama. Sejujurnya hatinya memberontak, dia ingin sekali menolak tapi, apa daya, Tuhan tidak membekalinya cara menolak sebuah paksaan.

Bude, Runi berterima kasih karena Bude dan Pakde sangat mengkhawatirkan keadaan Runi. Tapi, apa boleh Runi memilih jalan jodoh Runi sendiri?”

“Run, kamu sudah dewasa. Kamu perempuan. Mau nunggu sampai umur berapa? Kamu nggak pengen punya anak? Kalau kamu sudah menikah, beban Mbah Uti juga sedikit berkurang. Tetangga dan saudara sudah mulai menanyakan kapan kamu nikah?”

“Tapi Bude, Runi takut. Bagaimana bisa Runi menerima lamaran dari orang yang tidak Runi kenal.”

Bude dan Pakdemu juga cuma kenal sebentar terus langsung nikah. Kami juga baik-baik saja sampai puluhan tahun tidak pernah ada masalah.”

Nduk sampai kapan kamu mau melajang?”

Suara bergetar itu membuat hati Runi ikut gemetar, dia mungkin bisa sedikit berargumen saat sang bibi memaksa tapi, tidak dengan Mbah Uti. Wanita renta itu menatapnya dalam, seolah sedang memohon pada Runi agar menurut pada kakak sang ayah untuk menikah dengan pria yang sudah melamarnya sejak tiga bulan lalu. Aluna yang sedari tadi berada di teras bersama Resti, Abim dan Leon menguping pembicaraan serius di dalam ruang keluarga itu.

“Kamu sudah punya calon?” Akhirnya suara berat pria berumur lima puluh tahunan itu terdengar.

“Kalau sudah punya suruh dia datang ke sini biar kami nggak memaksa kamu lagi, Run.”

“Kamu memang anak mandiri dan pintar, tapi jangan lupakan kodratmu sebagai wanita. Jangan sampai jadi beban keluarga.”

Bibir Runi bergetar, sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak marah ataupun tersinggung.

“Kasih Runi dua bulan, jika lebih dari tiga bulan Runi gagal membawa calon Runi sendiri, Runi akan menerima lamaran atasan ayah.”

Keempat bocah yang menguping di luar saling berpandangan.

“Kasihan banget sih Bu Runi, jadi Bu Runi mau dijodohin gitu?”

Luna mengangguk, wajahnya cukup menunjukkan empati pada kakaknya.

“Atasannya ayahku yang ngelamar Mbak Runi. Duda anak satu.”

“Busyet! Dua tua dong?”

Luna mengangguk lesu. “Orang dewasa kalau berpikir suka aneh ya? Suka memaksakan kehendak juga.”

“Ya, mereka suka aneh. Seenaknya sendiri dan nggak mikir kita yang muda juga punya perasaan.”

Sekarang semua mata tertuju pada sosok jangkung bertinggi 180 senti meter itu. Rambut model tiga dua satunya mulai panjang, kulit putih yang terbakar matahari terlihat kemerahan.

“Kalian tahu kan aku broken home. Sejak kecil tinggal dirumah kakek nenek sama kak Nana. Baru akhir-akhir ini daddy mulai sering di sini, nemenin kami. Aku sama kakak selalu berusaha buat nyatuin mereka lagi, tapi sampai sekarang masih belum bisa karena kakekku nggak setuju. Kakek bilang mommy jahat dan nggak bertanggung jawab. Tapi, mommy nggak salah. Mommy bilang dia dulu terpaksa pergi karena kakek sama nenek nggak merestui pernikahan mereka. Walau sebenarnya mereka masih saling cinta. Kami diam-diam masih setahun sekali liburan sama-sama, berempat.”

CAMEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang