Hari Jum’at adalah yang sangat ditunggu oleh para siswa karena Sabtu dan Minggu mereka libur. Jam menunjukkan pukul tiga sore, artinya satu jam lagi mereka bisa pulang dan menghabiskan waktu dua hari berikutnya di rumah. Runi masih menerangkan tentang majas ketika salah seorang muridnya tiba-tiba pingsan.
Jun, siswa bersuara emas yang selalu menjadi andalan sekolah saat ada kompetisi menyanyi antar sekolah bahkan tingkat nasional. Wajahnya yang imut dengan kulit putih, menunjang karier yang dirintisnya sebagai seorang penyanyi.
“Jun! Woi! Kenapa lu?!”
Erzan yang duduk di sebelahnya langsung meminta bantuan Jeno dan Narendra mengangkat Jun ke UKS. Runi tak kalah panic, dia menitipkan kelas pada Mita, ketua kelas XII. A2. Hidung Jun mengeluarkan darah, tubuhnya panas dan masih beum memberikan respon.
“Bu, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja ya.”
Runi terlihat panik dan mencoba menelpon layanan taksi, tapi masih belum ada yang tersambung. Dia segera keluar ke dekat gerbang sekolah menunggu jika ada taksi yang lewat. Sebuah mobil yang dikenalinya dating dari arah seberang jalan dan masuk ek pekarangan sekolah. Runi melambaikan tangannya, pikiranya hanya tetuju pada sang murid.
“Pak, Pak tolong, murid saya. Dia pingsan badannya panas dan sampai sekarang belum siuman, saya sudah coba telepon taksi tapi tidak bisa.”
Sosok yang bahkan baru membuka pintu mobilnya itu menatap Runi, wajahnya terlihat masam. Dia tidak menjawab tapi malah memainkan ponselnya dan membuat Runi kesal. Runi menatapnya tak percaya, airmata lolos dari matanya karena kesal dan panik. Dia menjauh sembari menelpon taksi lagi dan akhirnya tersambung.
“Ya, halo, saya….”
Ponsel Runi tiba-tiba direbut dan dimatikan.
“Kalau ada orang sakit, telepon rumah sakit, minta ambulans. Bukan telepon taksi.”
Mata Runi yang memerah karena tangis menatap ke netra yang sangat mirip dengan milik Narendra dan Abimanyu itu.
“Saya heran, katanya anda guru terbaik dan terpintar di sini. Tapi, kenapa menyelesaikan masalah seperti ini saja tidak bisa?”
Tak lama suara ambulans terdengar dan masuk ke area sekolah, membuat warga sekolah terkejut dan ramai sekali. Jun masih belum sadar saat dibawa dengan brankar oleh petugas.
“Bu Runi tolong ditemani ya, kami akan menghubungi keluarganya.”
“Saya ikut ya Pak?” pinta Erzan.
Pak kepala sekolah akhirnya mengijinkan Erzan ikut dalam ambulans bersama Runi.
“Apa dari tadi dia udah panas, Chan?”
Erzan, yang akrab dipangil Echan itu mengangguk.
“Sejak kemarin sih Bu. Tapi, dia kan gitu nggak mau minum obat. Jun itu lagi ikut training di agensi musik gitu Bu. DIa setiap pulang sekolah, sejak sebulan ini pasti langsung ke tempat latihan. Tahu sendiri kan Bu, dia pengen banget jadi penyanyi. Nah, katanya sih agensi yang nawarin dia itu janji buat debutin Jun. Tapi mereka audisinya sistem training gitu Bu. Selama lima bulan ini, mereka dikasih pelatihan, nanti yang bolos dan nggak bisa ngikutin tes rutin bakal gugur. Sedang, Jun kan anaknya ambisius jadi ya gitu deh. Dia aja jarang makan, jarang tidur. Kerjaannya ngapalin lagu sama koreografi.”
Runi menatap sosok yang masih belum merespon di depannya itu. Tak lama ambulan sampai di rumah sakit dan Jun segera mendapat penanganan. Tangan Runi gemetar, dia tidak bisa menahan perasaan takutnya apalagi sudah hamper tiga puluh menit Jun pingsan dan tidak merespon.
“Bu, kita berdoa aja ya.”
Erzan duduk disamping wanita itu, tangannya terulur mencoba menguatkan gurunya. Runi mengangguk, dalam hatinya dia terus berdoa.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMEO (END)
RomanceArunika, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA. Hari-harinya dipenuhi dengan kisah murid-murid yang beraneka ragam. Dia selalu mengambil peran di dalam setiap cerita muridnya, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemeran utama. Cameo, is...