Part 24

207 36 28
                                    


Wanita dengan kulit keriput itu kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang dengan infus tergantung di atasnya. Dokter mengatakan jika ada pendarahan di kepala akibat terjatuh dalam kondisi tekanan darah tinggi.

“Dokter Sena, apa Mbah Uti bisa pulih?” tanya Runi.

Laki-laki itu menghela nafas, seolah sulit mengatakan apa yang diketahuinya pada wanita yang baru dikenalnya bulan lalu itu. Alma, yang sedang mengelus-elus punggung Runi mencoba menenangkan.

“Profesi kami hanya mengusahakan semaksimal mungkin pengobatannya, tapi untuk hasil akhirya semua bergantung pada Allah.”

“Untung tadi ada yang segera bawa nenekmu ke rumah sakit,”

Runi kemudian teringat pada bu Retno yang tadi ikut mengantar Uti ke rumah sakit.

“Mbak Retno tadi naik taksi?” tanya Runi.

“Enggak Run, tadi kebetulan ayahnya Abimanyu pas masih di gerbang. Terus aku pas lagi nyiram-nyiram kan, tiba-tiba Mbah Uti jatuh di teras.”

“Pak Arjuna ke rumah?” tanya Runi.

“Iya, dia ngobrol sama Mbah Uti, keliatannya serius terus Mbak sempat lihat Mbah Uti kayak kaget gitu. Tapi nggak tahu sih ngomongin apa, Mbak cuma kebetulan pas nyapu sama nyiram bunga di depan. Terus habis ayahnya Abim pamitan nggak lama Mbah Uti kayak sesak nafas terus jatuh.”

“Ngapain dia ke rumah?” gumam Runi.

Kondisi wanita paruh baya yang masih terbaring di ruang perawatan itu belum menunjukkan perubahan.

“Bude sama Pakde mau mindahin Mbah Uti ke rumah sakitnya Mas Anka. Biar kamu juga nggak repot.”

Keputusan itu adalah hasil dari rapat keluarga yang sedikit menyudutkan Runi karena di saat kejadian, dia sibuk di rumah pacarnya. Runi tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Budenya.

“Kamu lebih baik cepat menikah, mau sampai kapan kamu ngulur-ngulur waktu terus Runi?”

“Bude, tapi Runi sama Mas Adrian belum bahas soal itu.”

“Adrian? Pacarmu yang kamu banggain itu? Mana dia? Kenapa dia nggak di sini nemenin kamu jagain Mbah Uti?”

Runi tahu jika kakak ayahnya itu sedang sedih dan emosi, sang suami berusaha menenangkan wanita itu untuk tidak ribut di rumah sakit.

“Mas Adrian baru jemput anaknya tadi Bude.”

Nyata memang Adrian belum muncul, dia sempat menemani Runi tapi setelah itu pergi entah kemana. Sosok laki-laki tua dengan tongkat di tangannya mendekat. Di sampingnya dokter Sena, Arjuna, dan dua anak remaja yang tersenyum pada Runi datang.

“Pak Hutma,” sapa Pakde Runi.

“Pak Adi, apa kabar?”

Obrolan terjalin, begitu juga dengan Runi dan dua murid kesayangannya, Narendra dan Abimanyu.

“Bunda jangan sedih ya, Eyang Uti pasti sembuh.”

“Bunda? Kalian kenal Runi? Kalian deket?” telisik wanita paruh baya.

Narendra dan Abimanyu mengangguk. “Mereka murid Runi, Bude.”

Salah seorang suster yang menangani proses perpindahan mbah uti mengabarkan jika wanita itu siuman. Mereka segera bersama-sama ke ruang perawatan.

“Bu, ibu nanti dipindah ke Solo ya. Biar gampang yang urus, Runi sama Luna kasihan kalau harus nemenin Ibu disini.”

Wanita itu hanya menggerakkan matanya, dokter Sena menjelaskan jika beliau terkena stroke sehingga gerak tubuhnya pun kini terbatas.

CAMEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang