Sejak semalam Runi masih memikirkan kondisi Arjuna, dia penasaran kenapa Abimanyu sehisteris itu dan sayup-sayup dia mendengar suara dokter Sena juga memanggil-manggil Arjuna. Jemarinya mengetik sebuah nomor yang dihafalnya karena cukup mudah untuk diingat.
“Run, jangan bodoh.”
Runi berbicara pada dirinya sendiri, kemudian melemparkan tubuhnya ke ranjang. Kepalanya terbentur kotak yang tadi diberikan Sherin padanya. Kotak yang ditemukan oleh keponakannya dari barang yang dibawa Runi saat pindahan.
“Aduh!” rintihnya.
Kotak bermotif kelinci putih itu merupakan kotak sejuta memori yang dulu pernah menjadi bagian dari masa lalu Runi. Namun semenjak kenal dengan Clark, dia jarang menuliskan keluh kesahnya di kertas-kertas yang akan dia simpan di kotak itu. Bau kertas berdebu menguar membuat Runi sedikit terbatuk saat membukanya.
Sebuah foto yang memperlihatkan kebersamaannya dengan kedua orangtuanya. Kemudian foto dengan beberapa orang yang sudah mulai pudar gambarnya. Runi melihat sepintas kertas-kertas yang penuh dengan tulisannya. Satu nama yang membuatnya tergelitik.
“Mas Juna?”
Runi bergumam, ternyata sebelum mengenal nama Arjuna dia pernah mengenal orang dengan nama yang sama. Runi tak ingat dengan hal itu. Kesakitannya saat ditinggal sang ibu selalu coba dihapusnya. Dia selalu menghentikan pikirannya jika mulai mengenang kejadian masa lalu. Seolah tak mengijinkan memorinya memutar kembali kenangan itu karena akan menyakitinya.
Begitulah cara Runi untuk menguatkan diri. Dia hanya yakin ibu dan bapaknya telah di surga. Namun berbeda hal dengan Clark yang penyebab kematiannya masih menjadi misteri di hati Runi. Dering ponsel Runi membuat sang gadis terkejut.
Sebuah nomor menghubunginya, nomor pak Hutama. Pria itu pasti akan mengabarkan jika obat herbal kiriman Runi telah sampai.
“Assalamualaikum Romo. Mas Arjuna sehat kan Romo?”
“Wa alaikum salam. Kenapa memangnya, kenapa kamu nggak telepon sendiri?” Kekehan terdengar dari ujung telepon.
“Ndak Romo, Runi cuma nanya kok. Soalnya perasaan Runi nggak enak tiba-tiba.”
“Loh memangnya apa hubungan perasaanmu sama Mas Juna, Run?”
“Mas Sena? Kok bisa nyahut?” tanya Runi heran.
“Bunda, kami semua denger kok disini, bunda mau ngomong apa sama daddy?” Suara Narendra terdengar disambut gelak tawa yang lain.
“Kalau kangen tuh pulang aja Bunda, nggak usah kabur-kaburan.”
Runi menggigit bibirnya, dia malu setengah mati karena dikerjai oleh laki-laki yang beberapa bulan terakhir ini dekat dengannya.
“Romo kenapa ngerjain Runi sih,” kata Runi.
“Kamu mau ngomong apa sama Juna? Nanti yang lain tutup telinga.”
“Nggak mau ngomong apa=apa.”
“Tapi Mas Juna kangen lo sama kamu Run,”
“Bodo amat,” sahut Runi emosi karena digoda oleh Sena.
“Jual mahal banget sih, pantes udah tua masih belum laku.”
Arunika tahu benar siapa yang bicara padanya sekarang.
“Kurang-kurangin ya julidnya. Biar nggak sakit terus. Kebanyakan dosa itu mulutnya mas lemes amat kayak cewek. Julidnya bikin kesel,” sambar Runi.
“Yang oenting aku ganteng.”
“Bodo amat, ganteng doang nggak ada gunanya.”
Tawa riuh terdengar dibelakang sana. “Ganteng doang nggak berani nyusulin, ya nggak Run?” tanya Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMEO (END)
RomanceArunika, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA. Hari-harinya dipenuhi dengan kisah murid-murid yang beraneka ragam. Dia selalu mengambil peran di dalam setiap cerita muridnya, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemeran utama. Cameo, is...