Hari Sabtu, waktu dimana Runi harus mengajar beberapa siswa yang les di rumahnya. Salah satunya adalah kakak beradik Cleo dan Cio, keponakan dari mantan kekasihnya. Kedua anak itu menuruni fisik ayah mereka yang asli Jerman, namun perangainya mirip dengan sang ibu yang terlihat dingin namun sebenarnya baik jika sudah dekat. Seperti biasa, setelah selesai belajar selama dua jam, dua anak itu akan melanjutkan hari Sabtunya bersama Aluna bermain di ruamh Runi.
“Masih belum mau pulang?” tanya Cassie yang datang sembari membawa sekotak pizza berukuran ekstra dan beberapa kotak kecil lain.
Runi yang sedang sibuk mengupas bawang di dapur menoleh.
“Kak, sampai nggak dengar aku. Itu anak-anak main sama Luna. Biarin dulu mereka disini, nanti aku antar pulang.”
“Nggak usah masak, ayo makan ini aja. Mbah Uti kemana?”
“Mbah Uti di ajak bude sama pakde ke rumah saudara jauh. Minggu depan baru pulang.”
“Kamu nggak ikut?”
“Minggu depan sudah mulai tes semesteran Kak, jadi aku sama Luna sama-sama sibuk.”
“Ya udah ayo makan sama-sama. Nggak usah masak.”
Runi akhirnya mencuci tangannya dan segera mengikuti Cassie ke ruang tengah. Tiga bocah itu sudah membawa jatah makan mereka masing-masing. Satu paket ayam, burger dan kentang dalam satu kardus itu membuat Luna, Cleo dan Cio makan dengan lahapnya sambil menonton televisi.
“Kamu habis borong sembako?” tanya Cassie saat melihat tumpukan sembako yang datang kemarin.
Runi menceritakan semua yang terjadi sembari menerima kotak yang diberikan Cassie padanya.
“Kamu orang baik, Run. Wajar kalau Tuhan sayang sama kamu.”
“Kakak juga orang baik, semua orang sayang ke kakak.”
Wanita berusia tiga puluh empat tahun itu tersenyum. “Kamu kayak nggak tahu aja kalau aku dulu sampai diusir dari rumah sama papi.”
“Ya, namanya juga kakak masih muda waktu itu. Aku juga dulu nakal, sama saja.”
“Nakal kita beda, Run. Nakalku nyusahin banyak orang. Sampai Clark harus pontang-panting berusaha mendamaikan aku sama orangtua kami. Sekarang aku sudah tobat Run, aku pengen berubah.”
Runi mengelus punggung wanita kurus itu, terlihat matanya berkaca-kaca sembari menatap kedua anakna yang asik melihat siaran kartun.
“Kakak itu orang baik, Clark selalu bangga sama kakak. Clark selalu cerita gimana pengorbanan kakak dulu buat keluarga sampai akhirnya ekonomi kalian bangkit lagi.”
“Aku jual diri, demi mereka tapi aku nggak bisa bertahan. Dan aku menyakiti anak-anakku. Aku bahkan nggak bisa ketemu mereka lagi dengan leluasa. Aku malu, aku bukan ibu yang baik buat mereka. Aku... aku takut karma terjadi, dan sepertinya itu benar terjadi Run.”
Kini bulir bening jatuh di kedua pipi wanita keturunan tionghoa itu. Runi meletakkan makanannya.
“Kita bicara dibelakang yuk Kak.”
“Luna, Cleo, Cio, kalian di sini dulu. Mami sama tante mau ke kebun dulu sebentar ya.”
Mereka menyahut oke tanpa mengalihkan pandangan mata mereka dari layar televisi. Runi mengajak Cassie ke gazebo yang berada di belakang rumah. Tempat favorit mbah uti ketika berjemur di pagi hari sambil melihat kebun dan kolam ikan sederhana peninggalan mbah kakung.
“Ada apa Kak?” tanya Runi.
Wanita itu menangis, tubuhnya berguncang karena isak yang pilu. Runi membiarkan Cassie menyelesaikan tangisnya dan menunggu wanita itu untuk kembali bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMEO (END)
RomanceArunika, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA. Hari-harinya dipenuhi dengan kisah murid-murid yang beraneka ragam. Dia selalu mengambil peran di dalam setiap cerita muridnya, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemeran utama. Cameo, is...