Part 8

295 61 64
                                    


Hiruk pikuk suara kendaraan terdengar bersautan, matahari tepat berada di atas kepala. Polusi memang tak seberapa jika dibanding di ibukota, namun cukup membuat pengap udara Jogja. Sebuah kafe di gang sebelah pabrik bakpia itu terlihat cukup sepi. Suara musik terdengar dari speaker-speaker di pojok atas ruangan.

“Kamu kenapa?”

Cassie tertawa karena melihat Runi bergerak-gerak gelisah. Gadis itu terlihat lebih segar dengan dandanan tipis yang dipoleskan Cassie.

“Kak, harusnya kemarin kakak nggak usah bilang mau ngenalin. Aku kan jadi panik, nanti mau ngomong apa. Aku takut.”

Kepolosan Runi membuat Cassie tertawa. Dicecapnya segelas minuman beralkohol favoritnya, sedang Runi memilih memesan es susu strawberry yang sedari tadi diaduk-aduknya.

“Cass, maaf telat.”

Jantung Runi berdegup kencang, dia bahkan tidak berani menolah saat suara opria itu terdengar memanggil nama Cassie.

“Ad! Long time no see! Wih tambah ganteng aja nih.”

Obrolan ramah tamah khas teman lama terdengar dan Runi masih berpura-pura sibuk dengan gelas susunya.

“Semenarik itukah susunya, Bu Arunika?”

Runi reflek mendongak, menatap sosok yang parfumnya menguar menggantikan aroma kopi yang tadi sempat muncul dari arah mini bar kafe.

“Pak Zulham.”

Kali ini senyum Runi mengembang sempurna saat mendapati sosok yang dia kenal duduk di depannya.

“Loh, kalian saling kenal?” tanya Cassie.

“Gurunya anakku, dan kebetulan aku ngawas di sekolah tempat Bu Runi mengajar.”

“Hei, jangan kaku gitu lah.”

Zulham tertawa, pria berumur tiga puluh lima tahun itu terlihat sangat berbeda jika dengan baju kasualnya.

“Boleh panggil Runi berarti?”

“Silahkan Pak,” jawab Runi.

“Panggil Adrian saja kalau diluar.”

Obrolan itu mengalir begitu saja, Cassie dan Adrian menceritakan masa lalu mereka saat SMA di Jakarta. Runi tidak masalah menjadi pendengar karena sesekali baik Adrian maupun Cassie mengajaknya membahas sesuatu hal atau meminta pendapat saat keduanya berselisih paham saat berbeda pendapat tentang topik pembicaraan mereka.

 Sesekali Adrian mencuri pandang pada gadis yang terlihat lebih menarik itu, Cassie menyadari sorot mata yang berbeda dari sahabat lamanya. Cara Runi berbicara yang santun dan mendayu membuat laki-laki itu seakan tersihir.

“Jadi, kamu kenal juga dong sama anaknya Adrian?”

“Lebih deket sama Runi daripada sama aku atau Alma,” jawab Adrian singkat sebelum mengunyah potongan steak-nya.

Really? Sedeket itu?”

Runi tersipu. “Enggak juga sih Kak, jadi dulu waktu SD, Alila itu pernah ikut lomba pidato, terus aku didapuk jadi mentornya gitu. Kenalnya disitu, dulu Alila datang sendiri waktu lomba, mamanya tiba-tiba ada urusan. Aku nggak tega, jadi aku temenin dia. Setelah itu setiap mau ikut lomba dia selalu datang ke bimbel tempatku sama Clark part time dulu. Dia les di sana, dan sekarang jadi muridku si SMA.”

“Kasihan Alila, punya bapak nggak bener kayak Adrian.”

Pria itu melotot mendengar ejekan sahabatnya. “Anakmu juga sama aja kasihan, punya ibu nggak bener.”

CAMEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang