Part 34

246 36 1
                                    

Arjuna membuka matanya, sosok sang adik terlihat letih tertidur di sampingnya. Seorang wanita mengecek selang yang terhubung di tangannya.
“Al,” sapa Arjuna.

“Jun, udah baikan? Kamu kenapa bisa sampai kayak gitu?”

“Aku udah ingat semuanya.”

Jawaban Arjuna membuat mata dokter spesialis jiwa itu terbelalak sebelum akhirnya tersenyum sembari mengucap syukur.

“Apa yang kamu ingat?”

Arjuna membenahi posisinya, duduk bersandar bantal.

“Arunika, dia bukan orang asing di hidupku.”

Alma menatap Arjuna dengan seksama, mendengarkan pasien sekaligus calon kakak iparnya itu bercerita.

***
Jogja, 2006

Hujan deras mengguyur, suara tangis bayi terdengar bersama isakan dari seorang anak berusia dua belas tahun yang baru saja mengetahui jika sang ibu pergi untuk selamanya. Bayi mungil yang menangis digendongan anak perempuan itu seolah meronta tak mau berpisah dari sang ibu yang baru semalam melahirkannya.

“Dek, sini dedek bayi biar sama Mas ya.”

Laki-laki dua puluh tahun itu dengan cekatan mengambil bayi merah yang baru lahir itu kemudian menimangnya hingga kembali tertidur. Ayah mereka kini sedang mengurusi administrasi sembari menunggu jenasah sang istri selesai dimandikan sebelum dibawa pulang. Derai air mata sederas derai hujan.

“Mas Juna, Runi takut. Runi ndak mau ibu meninggal.”

Sebelah tangan pemuda itu mengusap anak kecil yang memeluk kakinya.

“Runi, jangan takut. Ibu sekarang sudah ada di surga sama Allah. Runi harusnya seneng, karena ibu bahagia di rumah Allah.”

Mata Arunika mengerjap, dengan cepat dia menghapus airmatanya kemudian menatap ke pemuda jangkung yang sedang menggendong adik bayinya.

“Ibu sama Allah? Kata bapak, Cuma orang baik dan sholeh yang dipilih Allah buat tinggal sama Allah di surga.”

“Iya, makanya kamu nggak boleh nangis. Runi seneng kan ibu dipilih sama Allah?”

Runi mengangguk. Gadis yang baru mendaftar SMP itu terlihat sangat polos. Pemikirannya tak muluk-muluk, Arjuna sedikit lega melihat Arunika bisa tnang karena kata-katanya.

“Nak Juna, bisa titip Runi dan adiknya dulu? Nanti ada budenya yang jemput ke sini.”

“Biar saya antar saja Pak. Saya bawa mobil. Bapak nunggu ibu?”

“Bapak ikut ambulans. Tolong ya, titip Runi.”

Arjuna mengangguk. Pria yang telah menyelamatkan dirinya dari siksa neraka akibat rencana bunuh dirinya kemarin membuatnya sangat berhutang budi.

“Saya akan jagain Runi Pak.”

Mata pria itu berkaca-kaca. “Kamu memang sesuai dengan namamu, Nak Juna. Setampan dan sebaik Arjuna, yang menjadi seorang ksatria utomo.”
Runi mengerjap-ngerjap menatap kedua laki-laki di depannya. Seketika dia ingat dengan tokoh wayang yang selalu diceritakan snag ayah, Raden Arjuna, putra ketiga dari Prabu Pandu Dewanata.

Jemari lentik Runi terus menggenggam sebelah tangan Arjuna sembari melangkah ke parkiran.

“Mas Juna sudah punya anak kan?”

Arjuna mengangguk sambil memfokuskan diri mengikuti mobil ambulans di depannya.

“Kenapa?”

CAMEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang