Hujan turun di pagi ini tahu betapa repotnya para manusia yang siap berangkat beraktifitas di hari Selasa. Ada yang melinting celana setinggi mungkin agar tidak basah terkena genangan air, ada yang memilih memasukkan sepatu ke dalam tas dan bertelanjang kaki sampai ke sekolah, ada pula yang sengaja memakai sandal jepit dari rumah. Beberapa mengenakan jaket atau jas hujan mereka hingga di depan lobby sekolah, membuat lantai yang biasanya sudah di pel bersih menjadi bergambar cap alas kaki berlumpur.
Tak sedikit yang terpeleset karena air yang ikut masuk terbawa payung dan jas hujan yang baru mereka lepas di sana. Runi membantu Bu Sari dan Pak Hilman yang menggelar kardus-kardus bekas buku agar mengurangi kelicinan lantai yang sudah menyebabkan dua guru dan lima murid terjatuh.
Beberapa murid yang beruntung dapat sampai ke sekolah tanpa harus bersusah payah, seperti geng Narendra yang berangkat bersama di antar ayah Narendra.
“Pagi Bu Sari, Pak Hilman, Bunda Runi!” sapa mereka.
Narendra, Jeno, Jun, Erzan, Abimanyu dan Leon menyapa bersamaan. Tapi sedikit berbeda ekspresi Jun saat menyalami Runi yang sama sekali tidak menatap wajah sang guru.
“Pak Arjuna, selamat pagi!” sapa Pak Hilman, wakil kepala sekolah.
Sosok dengan kemeja putih dan celana hitam itu melepas kacamata hitamnya kemudian menjabat tangan pak Hilman yang terulur. Runi memilih segera menyingkir karena baginya, berada di dekat sosok itu membuat moodnya kurang baik.
“Pagi Bu Runi, Bu Sari!” sapa Felix, Lino dan Chris.
Dibelakang mereka, tiga siswi menyusul. Lila, Ella dan Verona, mereka turun dari mobil yang sama.
“Kalian berangkat sama-sama?”
“Iya Bu, untung ayahnya Lila baik, mau jemput kami tadi.”
Sekilas Runi melihat Zulham yang kebetulan juga sedang menatap ke arahnya. Runi tersenyum menyapa ayah Lila itu. Andai tidak ada sosok menyebalkan yang berdehem dan membuat suasana menjadi kikuk pasti runi sudah memberanikan diri melontarkan beberapa kalimat basa basi pada sang pengawas sekolah.
“Bu Arunika, mohon data yang saya kirim segera dilengkapi. Saya tunggu sampai pukul satu siang ini.”
“Di email Pak?” tanya Runi.
Arjuna mengangguk. “Kalau begitu saya cek dulu dari komputer,” kata Runi.
“Di rumah tidak pasang wifi?” tanya Arjuna.
“Boro-boro wifi Pak, laptop Bu Runi kan dijual buat nombokin uang buku muridnya. Bu Runi emang aneh sih, terlalu sayang sama anak-anaknya. Terlalu manjain mereka,” kata Bu Sari.
“Mungkin perlu diadakan tes psikologi untuk guru-guru di sini.”
Komentar Arjuna jelas bermakna jika tindakan Runi bukanlah hal yang dianggap wajar dan normal sehingga guru muda itu harus melakukan konsultasi psikologis.
“Apa salahnnya perhatian dengan murid?” tanya Zulham.
“Saya kirim ulang di aplikasi chat saja ya. Saya tunggu secepatnya, tidak ada alasan.”
Runi mengangguk dan segera berpamitan
“Pak Arjuna itu kok sombong ya Run, angkuh gitu. Persis Narendra dulu. Istrinya kayak apa ya? Pasti sabar banget.”
Sari yang menggandeng Runi kembali ke ruang guru. Hanya ada delapan belas guru yang bertugas di SMA ini, mengurus sekitar delapan ratus murid. Salah satu yang senior adalah Bu Sari, guru matematika yang menjadi mentor Runi selama mengajar di sini.
“Kalau kamu bisa tembus beasiswanya, lumayan nanti bisa dipromosikan jadi wakil kepala sekolah. Kamu masih muda, pintar, dan tidak punya catatan buruk.”
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMEO (END)
RomanceArunika, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA. Hari-harinya dipenuhi dengan kisah murid-murid yang beraneka ragam. Dia selalu mengambil peran di dalam setiap cerita muridnya, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemeran utama. Cameo, is...