Arjuna memberanikan diri untuk menjemput sang putra bungsu di kediaman ayahnya. Si sulung sudah duluan pergi ke sana dan menyelesaikan kesalahpahamannnya dengan sang adik. Empat orang yang sangat Arjuna sayang terlihat bercengkrama di pendopo, senyuman sang ayah terkembang mendengar cerita dari putra sulungnya yang memang sangat lucu jika sedang menceritakan hal yang menurutnya menarik.
“Romo,” sapa Arjuna.
“Hm, kalau kamu ke sini untuk jemput mereka berdua mending kamu pulang saja. Malam ini Romo mau mengajak mereka nonton pagelaran di keraton.”
“Kalau gitu Juna nginep sini juga Romo.”
“Yes! Daddy nginep sini? Kita nanti jalan-jalan ya?” Si bungsu terlihat antusias.
“Nah, gitu dong. Mumpung aku libur. Sekali-sekali menikmati hidup seperti manusia normal,” tutur sosok berambut cepak yang duduk di samping Juna.
Aryasena, dokter spesialis penyakit dalam yang juga adik Arjuna. Sejak sang ibu meninggal, Arya jarang pulang ke rumah, memilih untuk itnggal di rumah sewanya di dekat rumah sakit tempat dia betugas.
“Om Sena minjemin aku bukunya Dad, lumayan, bisa buat nyuri start belajar,” kata Narendra yang memang sangat mengagumi sosok sang paman.
“Terus, nanti yang nerusin bisnis Daddy siapa? Abim?” tanya Juna.
“Abim mau jadi tentara. Abim nggak suka bisnis,” jawab Abimanyu enteng.
“Nikah lagi, punya anak lagi biar ada yang nerusin,” seloroh Sena sambil mengutak-atik ponselnya.
“Jun, pipimu biru? Bibirmu kenapa itu?”
Belumsempat Juna menyusun kata yang tepat untuk mejawab sang Romo kini adiknya sudah mengungkapkan hal yang ingin disembunyikannya.
“Astagfirullah! Mas Juna, kamu mukul perempuan? Ini sampai luka kepalanya?”
Sena menunjukkan ponselnya, sosok Runi yang sedang berlumur darah terlihat di layar ponselnya.
“Bunda?” Narendra dan Abimanyu berbarengan.
“Aku nggak mukul dia, cuma dia aja yang terlalu lemah, aku cuma nggertak dia terus dia jatuh.”
Pria berusia tujuh puluh satu tahun di depannya seketika murka.
“ARJUNA SATRIA UTAMA! KENAPA KAMU TIDAK PERNAH BERUBAH HAH?!”
Kali ini Arjuna hanya bisa pasrah dan rasa kesalnya pada sosok Arnika semakin bertambah. Sang ayah mengusirnya setelah puas memukuli wajahnya dengan tongkat yang biasa digunakan untuk alat bantu jalan. Kini wajah tampan itu penuh dengan bekas memar kebiruan. Sandra kini menemaninya di rumah minimalis yang sudah tiga hari ini sepi karena dua penghuninya menginap di rumah snag kakek.
“Jun, aku harus gimana buat meyakinkan Romo?”
Wanita dengan baju bergaya sabrina dan mini skirt berwarna peach itu menemani juga yang sibuk mengoleskan salep di wajahnya.
“Ini sudah malam, kamu nggak pulang?” tanya Juna.
Suasana hatinya kurang baik sehingga keberadaan Sandra tak membuatnya tertarik seperti biasanya.
“Aku sudah menitipkan anakku di tempat biasa. Mereka akan aman di sana dan tidak merengek mencariku,” jawab Sandra enteng.
Mereka terdiam lagi sebelum Sandra menyerukan sesuatu dengan mata berbinar.
“Aku tahu! Apa kita harus melakukan seperti dulu lagi? Romo tidak akan menolak cucunya, aku tak masalah jika dia tetap membenciku, asal kita bisa bersama lagi. Toh Romo sudah tua jadi….”
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMEO (END)
RomanceArunika, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA. Hari-harinya dipenuhi dengan kisah murid-murid yang beraneka ragam. Dia selalu mengambil peran di dalam setiap cerita muridnya, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemeran utama. Cameo, is...