Semilir angin menerpa kerudung hitam yang senada dengan setelan berwarna abu-abu bermotif bunga poppy hitam. Matahari yang sempat menyengat di siang tadi mulai meredup berselimut mendung. Jemari lentik itu membalik halaman kitab suci yang ayatnya terlantun dari bibir berhias sapuan pemulas berwarna oranye. Di depannya gadis berambut pendek khas paskibra itu mencabuti rumput liar yang mengotori gundukan tanah berhias rumput hijau bak permadani dengan batu berukir nama Clark Julliard Lee.
“Runi...,” sapaan itu terdengar.
Si empunya nama masih khusyuk melantunkan doa dan belum merespon. Aluna yang mendongak dan tersenyum kemudian mengulurkan tangan, bersalaman dengan wanita berdress hitam selutut dan pria berambut coklat terang yang datang bersamaan. Runi menggumamkan kata penutup doa sebelum mendongak dan berdiri. Pelukan hangat menyambutnya, mata indah tadi berkaca-kaca.
“Clark pasti senang, kamu masih mengingatnya.”
Suara wanita itu terdengar parau menahan tangis haru. Hari ini, tepat lima tahun kepergian Clark, laki-laki yang hampir saja menikah dengan Runi.
“Sampai kapanpun aku nggak akan bisa lupa sama dia, Kak.”
“Tapi kamu tidak boleh sedih terus, kamu harus tetap menemukan kebahagiaanmu sendiri.”
Sosok pria asing tadi menyela. Runi mengukir sebuah senyuman. Wanita dan pria itu adalah kakak dan ipar Clark yang kini bertetangga dengan Runi setelah sekian lama menetap di negeri asal sang suami, Jerman.
“Kak Cassie, benar mau menetap disini dengan Kak Martin?”
Mereka berdua mengangguk. “Sudah jatuh cinta dengan Jogja,” kata Martin dengan logat bahasa Indonesia yang fasih.
Pertama kali datang ke Indonesia, Martin mengikuti kursus bahasa di tempat Runi mengajar les saat masih menjadi mahasiswa. Runi tidak tahu jika pada akhirnya Martin menjadi suami dari Cassie, kakak pacarnya dulu, Clark. Dunia seakan begitu sempit, namun itulah suratan, semua sudah tertulis dalam takdir masing-masing dan manusia tinggal menjalaninya sesuatu garis yang Sang Pencipta berikan.
“Cia dan Cio juga sudah mulai betah tinggal disini.”
Obrolan itu terhenti saat Cassie dan Martin mulai melakukan ritual doa mereka untuk sang adik yang jasadnya bersemayam di bawah nisan yang kini sudah bertabur bunga mawar yang dibawa Luna dan Runi tadi.
“Clark, andai kamu masih di sini. Aku yakin hidupku akan sangat bahagia. AKu tidak perlu tersiksa dan menderita karena menjadi beban untuk Mbah Uti karena belum menikah juga. Kenapa kamu harus pergi? Kenapa harus kamu? Setelah bapak pergi, kenapa kamu juga ikut pergi?”
Aliran bening dari mata Runi tak lagi bias ditahan. Baginya dunia seakan tak adil, kenapa harus dia? Kenapa harus Clark yang mati? Bahkan sampai saat ini tidak ada yang tahu siapa pelaku tabrak lari yang membuat Clark dan sang ayah meregang nyawa. Waktu itu pukul sepuluh malam, ayah mengeluh sesak nafas dan nyeri di dada. Runi hanya bisa meminta bantuan Clark saat itu karena Aluna juga tengah sakit demam tinggi di rumah.
Waktu itu Clark membawa ayah ke rumah sakit dengan motor karena mobilnya tengah dipinjam sang kakak keluar kota. Mereka berboncengan dan kabar itu dating. Seorang saksi mata mengatakan jika motor Clark ditabrak dari belakang saat berada di lampu merah. Saat itu Clark sempat menepikan ayah yang terjatuh ke trotoar menitipkan pada pengguna jalan lain yang menolong dan dia menghampiri si penabrak yang kemudian membawa ayah Runi ke rumah sakit.
Namun sampai di UGD sebuah telepon masuk dan mengabarkan pada Runi jika sang ayah telah meninggal. Clark sempat hilang beberapa hari dan muncul dengan wajah babak belur di hari kelima pasca kematian ayah Runi. Tidak ada kata lain selain kata maaf yang terucap dari bibir Clark hingga akhirnya Clark pamit pulang dan kabar duka kembali dating.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMEO (END)
RomanceArunika, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA. Hari-harinya dipenuhi dengan kisah murid-murid yang beraneka ragam. Dia selalu mengambil peran di dalam setiap cerita muridnya, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemeran utama. Cameo, is...