Dua minggu berlalu pasca kepulangannya dari Jogja. Kabar pernikahan Adrian dan Cassandra sudah sampai ditelinganya, namun pestanya masih bulan depan karena kondisi Cassandra yang tidak memungkinkan.
Kini dalam balutan kebaya berwarna putih, Arunika terlihat sangat gelisah. Kesabaran Budhenya telah habis, membuat acara perjodohan kesekian kalinya terjadi. Sedari tadi dia mondar-mandir di kamar, mencoba menghubungi beberapa orang yang mungkin bisa membantunya namun tak ada jawaban yang berarti.
“Runi, kamu bisa diem nggak sih? Diem. Anteng.”
“Mbak gimana aku bisa diem, aku dipaksa nikah kayak gini. Mbak, ini gimana. Kau harus minta tolong siapa.”
“Kenapa nggak minta tolong om Juna aja Mbak?” usul Luna.
Sherin menepuk bahu Luna. “Heh, kamu itu malah mendukung mbak mu. Gimana sih, nanti mama marah loh.”
Sayup-sayup terdengar suara ayat-ayat suci diperdengarkan. Arunika semakin panik, dan akhirnya dia menelpon Arjuna. Pilihan terakhirnya adalah Arjuna. Arjuna harus mau membantunya batal menikah hari itu. Tapi tidak ada jawaban, jam-jam seperti ini memang biasanya Arjuna baru pulang dari kantor.
“Mbak, aku mau kabur aja ya?”
“Kabur gimana! Jangan aneh-aneh!”
“Runi, ayo prosesinya sudah selesai. Kamu beoleh keluar sekarang.”
Salah satu kerabat muncul dan memerintahkan Luna menggandeng sang kakak bersama dengan Sherin yang sedang hamil tujuh bulan itu. Runi tak berani menatap ke depan, dari ekor matanya tabir berwarna emas memanjang memisah anatra tamu laki-laki dan perempuan. Pernikahan dengan adat seperti ini memang sudah diterapkan di keluarga Runi sejak Azka dan Sherin menikah.
“Tanda tangan dulu di sini, ayo cepet.”
Sang Bude sudah mulai menggeram dan Runi tak berani melawan. Kini dia menjadi pemeran utama disini. Hal yang tidak disukainya. Baginya menjadi cameo lebih menyenangkan dari pada berlakon utama.
“Sabar, Run. Sabar ya,” bisikan Sherin membuat Runi berusaha tegar.
Acara penuh khidmat itu selesai seiring lamunan Runi meratapi nasibnya.
“Bapak, Ibu, kenapa Runi harus mengalami semua ini? Coba kalau bapak dan ibu masih ada, pasti Runi bisa hidup bahagia dengan pilihan Runi sendiri,” batin Runi.
Derai airmata mengalir begitu saja.
“Mbak, kok nangis terus lo. Dandanannya jadi luntur,” kata perias yang bertanggung jawab atas polesan wajah Runi malam itu.
Runi tak peduli, kini dia menanggalkan semua atributnya mengganti dengan baju kesayangannya.
“Mbak, mas Juna telpon.”
Aluna masuk ke kamar Runi dan menyerahkan ponselnya.
“Assalamu alaikum. Run, kenapa? Tadi hapeku mati.”
Runi tak dapat berkata apapun, dia malah menangis.
“Run, kamu kenapa? Mas kesitu ya,” kata Juna diujung telpon.
“Nggak mas, aku nggak apa-apa. Aku cuma mau minta tolong tadi, tapi nggak jadi.”
“Tolong apa?”
Runi mencoba menghentikan isak tangisnya.
“Tolong apa Run?” Ulang Juna.
“Batalin pernikahanku.”
“Apa? Batalin pernikahan? Pernikahan siapa?”
“Udahlah mas, udah terlanjur.”
“Kamu nangis? Aku kesitu ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMEO (END)
RomanceArunika, seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA. Hari-harinya dipenuhi dengan kisah murid-murid yang beraneka ragam. Dia selalu mengambil peran di dalam setiap cerita muridnya, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemeran utama. Cameo, is...