Lead-Off

4.1K 351 112
                                    

Wajah penuh penyesalan itu masih terus menari didalam kepala. Aku tahu dia tidak baik-baik saja selama ini. Aku tahu bagaimana kerasnya dia mencariku. Tapi aku juga tak bisa egois, ada hati lain yang harus kujaga kala mendengar dia bercerita dengan bahagianya akhirnya bisa menemukan belahan jiwanya, pendamping hidupnya.

"Miss. . " Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi kuletakkan di meja. Entah kenapa hari ini aku merasa isi kepalaku overload.

"Ya?" Jawabku dengan tidak bersemangat.

"Sudah waktunya pulang. Miss tidak pulang?" Aku hanya menggeleng.

"Kamu duluan aja. Masih ada yang harus kukerjain." Asistenku hanya mengangguk ragu.

"Miss yakin? Soalnya wajah miss keliatan pucat banget hari ini."

"Gapapa cuma pusing dikit. Bentar lagi aku pulang kok. Kamu duluan aja." Aku sedikit berbohong.

"Ya udah nanti saya minta tolong salah satu OB buat nunggu disekitar ruangan Miss ya. Kalau butuh apa-apa panggil dia aja." Aku hanya menggangguk.

"Makasih Fio."

"Sama-sama Miss. Saya permisi." Setelah asistenku pergi, aku kembali meletakkan kepalaku di meja.

Rasanya sakit. Tapi jika ditanya bagian mana yang nyeri aku akan menjawab tidak tau. Seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Padahal aku terlihat baik-baik saja. Aku masih bisa makan banyak hari ini, aku masih kuat berjalan, penglihatanku masih baik, indera perasa dan penciumanku masih berfungsi normal. Namun tetap saja aku merasa ada yang salah dengan diriku.

5 menit

10 menit

Aku masih enggan mengangkat kepalaku tapi sepertinya aku harus pulang. Terlalu lama berdiam diri disini akan membuat pikiran semakin tak karuan. Mungkin akan lebih baik jika aku melihat situasi di luar.

"Akhh!" Aku berjengit kaget saat mencoba berdiri.

Dia disana berdiri menatapku. Selalu begitu setiap dua atau tiga hari sekali. Datang tiba-tiba saat suasana kantor mulai sepi. Hal yang sama selalu dia ucapkan padaku. Maaf dan Menyesal. Namun aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Biarlah, kita sudah terlanjur sakit. Jangan sampai orang lain juga ikut merasakannya.

"Sudah aku bilang berhenti lakukan ini Shani." Aku mendesah pelan.

"Aku gak bisa." Dia masih berdiri disana. Tak bergerak. Matanya merah dan bengkak. Kantong matanya lebih terlihat sekarang dibanding kemarin.

"Gak akan ada yang berubah. Please ngertiin."

"Gak bisa. Aku udah capek pura-pura. Pura-pura baik -baik aja di depan semua orang, di depan kakak kamu, orang tua kamu, orang tua aku. Aku capek Ge, aku capek."

"Tapi semuanya udah terlanjur Shani. Aku ga sanggup lawan kakak aku sendiri. Aku ga sanggup."

"Dan kamu lebih memilih lepasin aku?"

"Sama seperti kamu memilih lepasin aku demi kebahagiaan orang tua kamu." Selepas aku mengatakan itu. Tubuhnya luruh kelantai. Dia jatuh terduduk menangis terisak.

Rasanya aku ingin berlari kesana, merengkuh tubuhnya, mengecup keningnya dan bilang semua akan baik-baik saja. Tapi tubuhku seakan tak mengijinkannya, tetap diam berdiri mematung ditempatnya tak bisa berbuat apa-apa.

"Aku bahkan sangat menyesal pernah mengatakan itu setelah kamu menghilang. Dan aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku bertemu lagi denganmu aku akan perbaiki semuanya."

"Tapi buktinya hari pertunanganmu tetap akan dilaksanakan 3 hari lagi. Janji tinggal janji kan?"

"Gracia. . "

AKSARA (Greshan OS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang