Perception

4.4K 402 97
                                    

Cerita ini hanya fiksi. Isinya cuma ke-halu-an yang nulis.

Jadi kalau merasa sedikit bertentangan dengan kehidupan nyata mohon dimaklumi yaa 🙏.

(Sightless part II)





==Peace and Love==









Bugh Bugh Bugh

Berkali-kali tangannya dia hantam ke stir di hadapannya. Tak peduli bekasnya yang mulai membiru. Sakit tangannya tidak sesakit hatinya saat ini. Rasanya seperti ditusuk berkali-kali dengan belati, tak berdarah tapi nyerinya hampir melampaui batas yang mampu ia tahan.

Disaat berkali-kali mendoktrin diri bahwa orang yang paling ia cinta adalah orang yang paling ia benci karena telah menyakitinya. Kini rasa benci itu menguap entah kemana. Orang yang paling ia cinta ternyata memang mencintainya lebih dari apapun. Dan orang itulah yang seharusnya membencinya, bukan sebaliknya. Nasi sudah jadi kerak.

1 jam dia diam di tempat yang sama hingga matanya membengkak, menangisi kebodohannya selama ini karena kurang bersabar. Kurang berjuang. Padahal orang-orang disekelilingnya sudah merelakan seluruh hidup yang mereka punya untuknya. Mungkin ini memang hukuman untuknya karena tak pernah sekalipun mensyukuri apa yang sudah ia miliki.

Akhirnya dengan sisa tenaga yang ada, dia menstarter mobilnya, melaju meninggalkan parkiran rumah sakit.

Dengan langkah gontai Shani berjalan ke bagian tengah rumahnya mencari orang-orang yang menurutnya bisa memberikan jawaban yang selama ini dia butuhkan.

"Shani kok udah balik?" Tanya Mamanya yang sedikit kaget melihat anaknya sudah kembali padahal belum lama pergi.

"Kamu kenapa? Kamu abis nangis?" Mamanya mendekat hendak menyentuh sang anak. Namun Seakan enggan, Shani mundur beberapa langkah.

"Sayang...?"

"Apa yang selama ini Mama sama Papa tau tapi aku ga tau?" Tanya Shani menatap lurus Mamanya.

"Maksud kamu?"

"Soal Gracia. Apa yang aku ga tau dan kalian tau? Kasih tau aku Maa." Pertahanannya runtuh. Air matanya kembali menetes.

"K-kamu b-bertemu dengannya?"

"Jawab Ma. Apa yang aku ga tau selama ini?"

"Sayang, Mama..."

"Jawab Ma!" Nadanya meninggi.

"Perlukah Mama jawab apa yang kamu sudah tau? Kenyataannya memang itu yang terjadi."

"Jadi benar mata ini milik Gracia?" Mukanya memerah karena semakin sesak dadanya.

Tidak ada jawaban, hanya anggukan lemah yang Shani dapatkan dari Mamanya.

"Kenapa Mama ijinin? Kenapa Mama biarin dia lakuin itu?" Desak Shani.

"Siapa yang ngijinin? Sejak awal setelah tau kamu kecelakaan dan divonis buta, berkali-kali dia meminta untuk menukar matanya denganmu karena dia ga mau lihat kamu tersiksa. Kamu pikir Mama akan biarin dia lakuin itu? Tapi kamu tau sendiri berkali-kali kita gagal dapetin donor mata buat kamu dan kondisi psikis kamu semakin memburuk. Lagi-lagi Gracia ada disitu, berusaha membujuk Mama sama Papa bahkan dokter sekalipun untuk mengambil matanya. Kita sempat bernafas lega waktu itu ketika ada kabar baik dari rumah sakit bahwa mereka mendapatkan donor buat kamu, tapi lagi-lagi kabar baik tinggal kabar baik....dan Gracia, Gracia......." Sang Mama menjeda ucapannya. Tak kuasa untuk melanjutkannya.

AKSARA (Greshan OS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang