"Pelan-pelan. Awas meja."
"Iya."
"Ayo buka mulutnya. Mama masak makanan kesukaan kamu lho." Aku hanya menggangguk kemudian membuka mulutku.
"Pinter banget pacar aku." Sambil mengacak gemas rambutku. Bukannya kesal karena pasti berantakan, aku hanya tersenyum.
"Abis kamu makan aku pulang ya sayang. Dosenku baru aja kirim tugas dan harus dikumpulin malam ini." Mendengar itu aku hanya cemberut tanpa memberi respon apapun.
"Kalau aku bawa laptop, pasti aku kerjain disini. Tapi kalau harus pulang dulu ambil laptop dan balik lagi kesini waktunya ga nyukup sayang." Dia yang mengerti mencoba memberi penjelasan. Tapi aku tetap diam.
"Emm gini deh kan besok libur. Aku janji besok pagi-pagi aku udah disini sebelum kamu bangun. Aku bakal nemenin kamu seharian sampe kamu bosen."
Aku hanya menggeleng lemah. Terdengar suara piring diletakkan di meja. Tak lama kurasakan tangannya menarik tanganku, kemudian menggenggamnya lembut.
"Kamu kenapa? Ada yang nyakitin kamu?" Dia bertanya sambil membetulkan poniku.
Aku masih saja diam.
"Sayang kamu udah janji sama aku. Apapun yang ganggu pikiran kamu, kasih tau aku." Kali ini ucapannya terdengar sedikit menuntut.
"A-aku gapapa."
"Iya. Kamu kenapa-kenapa. Ayo cerita sama aku." Dia tetap tidak percaya.
"Beneran aku gapapa. Aku cuma.....emm cuma bosen dengan kondisi ini. A-aku pengen bisa liat lagi Gre. Aku pengen kita kayak dulu. Bebas ngapa-ngapain berdua tanpa harus sungkan ngrepotin kamu, ngrepotin banyak orang." Aku menunduk. Terdengar helaan nafasnya. Selama beberapa menit kami saling diam.
Dalam hati aku merutuk diri. Menyesal lagi-lagi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeluh padanya. Tapi kalau bukan mengadu padanya, pada siapa? Padahal aku tau beban di pundaknya begitu banyak.
"Sabar ya. Aku janji ga lama lagi kamu pasti bisa melihat. Kamu bisa lanjutin kuliah kamu. Wujudin mimpi-mimpi kamu. Kamu bisa pegang janji aku. Sabar ya sayang." Aku tahu dia mendekat padaku, karena kini hembusan nafasnya terasa mengenai wajahku.
"Maaf." Aku kian menunduk. Semakin merasa bersalah padanya.
"Jangan minta maaf. Kamu ga salah. Takdir yang sedikit kejam sama kita. Mungkin dia pengen kita perlu banyak belajar untuk bersabar." Aku hanya mengangguk pasrah pada ucapannya.
Hingga kurasakan bibirnya menempel padaku. Cukup lama. Mengecup rasa. Akupun menikmatinya.
"Apapun yang terjadi, kamu harus inget bahwa Gracia akan selalu sayang dan cinta sama Shani bagaimanapun kondisinya." Ucapnya sesaat setelah tautan bibirnya terlepas.
Shania Gracia. Teman, sahabat, pacar, kakak, adik atau apapun istilahnya. Satu-satunya orang yang aku pikirkan paling terakhir menjelang tidur dan orang yang pertama terpikirkan saat membuka mata. Dia sudah ada di sisiku bahkan sejak kita berdua belum bisa mengelap ingus sendiri. Yang pipis masih harus dicebokin. Dia yang selalu maju paling depan, yang siap babak belur duluan ketika ada orang lain yang coba menggangguku.
Belasan tahun bersama dia tak pernah berubah, bahkan ketika statusnya naik dari teman menjadi pacar, perlakuan manisnya yang selalu menomor-satukan aku tak pernah berubah. Aku sayang dia, aku cinta dia. Keyakinan itu masih sangat kuat bahwa dia akan menjadi yang terakhir dan satu-satunya untukku hingga tiba waktunya aku menutup mata selamanya.
-------------------------------
"Daritadi dia ga mau keluar kamar Gre."
"Tadi sempet ngamuk. Semua barang dikamarnya dia banting."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA (Greshan OS)
Short Story"Loving you never was an option. It was a necessity" -Truth Devour- ~Oneshoot Collaboration~