BAB 25

879 144 26
                                    

Sebuah tangan menyentuh lembut bahu kirinya, membuat wanita cantik yang tengah berwajah sendu itu mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu.

Lelaki itu mengusap lembut bahu kiri sang Wanita, tersenyum tipis seraya mengembuskan napasnya pelan. "Biar aku saja, Eomma. Tidurlah, bukankah kau belum tidur sejak malam tadi?"

Kedua alis mata itu bergerak turun, cahaya dalam netranya meredup. "Aku khawatir, Seokjin-ah."

Sekali lagi, Seokjin mengusap bahu wanita yang ia anggap seperti ibunya sendiri. Tersenyum, walaupun kesenduan dan rasa sakit itu ia rasakan juga. "Eomma, bukankah dalam sebuah hubungan, pertengkaran adalah hal yang wajar? Jimin dan Taehyung sedang merencanakan pernikahan, wajar jika mereka bertengkar hebat. Itu adalah bagian dari sketsa yang menguji kekuatan cinta mereka, juga bagian dari penentuan takdir … apa pun yang akan terjadi di antara mereka berdua ke depannya, itu semua adalah keputusan mereka. Kita hanya perlu mendukung dan memberikan saran terbaik yang bisa kita berikan. Dan sekarang, Jimin memerlukan waktu untuk mendinginkan kepalanya sebelum ia dapat kembali melangkah maju. Jadi, biarkan aku saja yang merawatnya untuk saat ini, hum? Jangan biarkan Jimin melihat wajah sedihmu, Eomma."

"Tapi, Seokjin. Jimin tidak pernah semurung itu sebelumnya. Dia bahkan terlihat kosong dan kebingungan sejak kepulangannya semalam. Aku yakin ada sesuatu yang salah dengan putraku. Aku--"

"Eomma, mari berikan Jimin waktu untuk semuanya." Seokjin kembali tersenyum, mengepalkan tangan kirinya yang berada di bawah perut besarnya.

Maka dengan berat hati, setelah ia mendengar penuturan menantu lelakinya, Nyonya Park menyerahkan nampan yang ia siapkan untuk sarapan putranya. Meminta Seokjin untuk memastikan Jimin memakan, setidaknya sedikit dari wadah sarapannya. Sebelum akhirnya ia memasuki kamar, dituntun oleh suaminya.

Membuat Seokjin yang menitikkan air matanya tanpa sengaja, segera menghapusnya. Menarik napasnya dalam, berusaha untuk mengesampingkan rasa sakit yang meremas dadanya kuat. Bagaimana bisa ia menyembunyikan luka yang dialami Jimin dari kedua orang tuanya? Sedangkan mereka dapat merasakan perih yang Jimin rasakan tanpa perlu dibicarakan.

Seokjin ingin menangis. Ia ingin terus menangis, bahkan setelah dirinya menangisi keadaan Jimin sejak semalam.

Ia tidak pernah menyangka hal seburuk itu dapat terjadi pada Jimin mereka, hal buruk seperti apa yang Taehyung lihat dan dengar sehingga ia menjadi buta pada ketulusan Jiminnya?

"Jimin?" ujarnya pelan, memberikan tiga kali ketukan dengan punggung tangan kanannya, sebelum akhirnya menarik daun pintu itu untuk terbuka. Menampilkan senyum tipis di bibirnya, saat ia tahu Jimin menepati janjinya untuk tidak mengunci pintu kamarnya. "Sarapan?" Tawarnya dengan sebuah senyuman kecil di bibirnya saat Jimin yang tengah menyembunyikan wajahnya di atas lutut, mengangkat wajahnya perlahan.

Berjalan ke sisi ranjang dan meletakkan nampan berisi bubur kepiting dan jus jeruk ke atas nakas, sebelum akhirnya duduk di tepian ranjang. Menarik napasnya dalam memperhatikan mata dan bibir sang Adik yang memerah bengkak. Mengusap lembut lengan yang tengah mendekap lututnya rapuh. "Mau aku suapi?"

Tatapan mata kosong yang semula menatap ranjangnya, kini beralih pada lelaki yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. "Hyung …."

"Uhm," gumamnya gemetar, menahan tangis yang sudah di ujung tanduk.

"Hyung …," Jimin kembali melirih, bibir itu kembali bergetar sebelum akhirnya air mata kembali pecah membanjiri pipinya.

Membuat Seokjin ikut pecah ke dalam rasa sakit yang begitu menghancurkan Jiminnya. "Oh, ya Tuhan." Ia membawa putra bungsu keluarga Park ke dalam pelukannya. Mendekap erat Jimin yang menangis sesak menahan isakan, menyalurkan kekuatannya dengan sentuhan, karena nyatanya, bibirnya tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. "Menangislah, Jimin. Tidak apa-apa. Menangislah."

BORN OF HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang