"Kau benar-benar tidak ingin bekerjasama denganku, Tuan?" Dahi itu berkerut dalam, dengusan di balik senyum miringnya terdengar jelas. Jeon Jungkook benar-benar tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar.
Pria itu tersenyum tipis. Ketenangan tidak pernah berhenti menguar dari wajahnya, membuat lelaki yang lebih muda merasa benar-benar kesal. Ia menyembunyikan tangannya ke dalam saku celana kainnya. Menatap suasana lingkungan gedung tak terpakai itu, dengan saksama. "Apa kau benar-benar menilaiku rendah, Jeon Jungkook-ssi?"
Jungkook menatapnya waspada, merasa terkejut akan respon yang diberikan oleh pria tua di sampingnya.
"Bukankah kau menilaiku terlalu rendah, Jungkook-ssi?" Ia mengangkat satu sudut bibirnya dan menghela napas. "Kaubilang, dirimu membutuhkanku?" Ia menoleh untuk menatap Jungkook. "Hargaku lebih dari separuh kekayaan keluarga Min. Kenapa kau menghargai keterlibatanku dengan begitu rendah? Bukankah aku adalah tiket emas menuju kejayaan?"
Sebuah senyuman canggung muncul di bibir lelaki yang muda. Akhirnya, ia dapat membuang napasnya lega.
"Aku ingin tawaran yang lebih besar. Barulah aku akan menyetujui ajakanmu untuk makan malam bersama." Pria itu mengangkat kedua alis matanya, memutar tubuhnya untuk menuruni atap gedung terbengkalai itu.
"Langit sudah mulai gelap. Aku berharap, kau akan segera menyanjungku dengan sebuah acara makan malam. Terkadang, rasanya terlalu lelah terus kembali dengan tangan kosong."
***
Jimin mengangguk dan berdeham pelan, berusaha untuk tetap mendengarkan Taehyung yang berbicara lewat sambungan telepon.
Hatinya tidak berada di sana. Ia masih tidak bisa menyingkirkan wajah Yoongi dari benaknya.
Bagaimana wajah terluka itu tetap berusaha untuk tersenyum dan berbicara dengannya. Bukankah Yoongi seharusnya membenci dirinya?
Jimin adalah orang asing yang pertama kali Yoongi biarkan untuk masuk ke dalam hidupnya. Jimin bisa membayangkannya, betapa besar usaha Yoongi untuk membuka hati dan kepercayaannya.
Kenapa? Kenapa Jimin bisa terjebak jauh ke dalam permainan yang tidak pernah ia mulai?
Jimin tidak pernah berniat untuk menjatuhkan hatinya pada Yoongi. Ia selalu memiliki Taehyung di dalam hatinya. Hanya Taehyung.
"Kau mendengarkanku kan, Jimin?"
Ia terbangun dari lamunannya ketika suara Taehyung mengambil alih sadarnya. Menatap kosong jendela kamarnya yang masih terbuka, tirai tipis berwarna putih itu bergoyang setiap kali angin meniupnya.
"Apa kau tertidur, Jimin-ah?"
Ia mengerjapkan matanya perlahan, merasa lelah. Seolah tak lagi ada tenaga, bahkan untuk sekadar bernapas.
Lalu, sebuah kekehan terdengar dari suara berat Taehyung. "Padahal, aku masih ingin bercerita. Aku merindukan tawamu sebelum tidurku, Jimin. Sepertinya, cerita konyolku ini harus kusimpan dulu."
Sebuah kecupan lembut yang menenangkan terdengar dari ujung sana, membuat Jimin menitikkan air matanya.
"Selamat malam, Jimin-ah. Aku menyayangimu."
***
Ia tersenyum tipis saat dirinya melihat Yoongi tengah duduk bersandar pada kepala ranjang. Menghampiri lelaki itu dengan kotak bekal di tangannya.
"Aku membawakanmu bubur abalon untuk sarapan, Hyung."
Yoongi mengangkat kedua alis matanya, tersenyum tipis. Menutup lembaran berkas di tangannya lalu meletakannya di sela ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN OF HOPE
FanfictionA Yoonmin Fanfiction "Hanya karena dirimu. Terima kasih, telah membawaku hidup kembali."