Pemuda Kim itu hanya dapat menarik napasnya dalam, sudah tiga malam Park Jimin kembali ke apartemen mereka, rumah mereka, tetapi Jimin sama sekali tak mau bicara pada dirinya. Bahkan setiap kali Taehyung berbaring di atas ranjang, Jimin akan berbalik untuk memunggungi dirinya, walaupun Taehyung sendiri bersyukur karena Jimin masih membiarkan lengannya memeluk perut datar itu.
"Jimin, kau harus makan," desahnya frustrasi. Menatap sendu Jimin yang duduk memeluk lutut di dekat kepala ranjang, sebisa mungkin menjauhi Taehyung. "Aku akan pulang terlambat malam ini, Jimin." Menarik napasnya dalam. "Aku akan meletakkan sarapanmu di atas nakas, makanlah saat aku pergi. Atau setidaknya minumlah jusnya."
Ia memberengut sedih, Jimin kesulitan makan sejak ia kembali ke rumah mereka. Air putih pun membuat dirinya mual dan sesekali muntah. Taehyung tak lagi tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Jimin mengerti. Semua ini ia lakukan untuk kebaikan mereka. Bahwa Taehyung yakin, jika mereka kembali tinggal bersama, mereka bisa memperbaiki semuanya.
Tak mendapatkan respons, Taehyung meletakkan nampan itu ke atas nakas. Berdiri dari tepi ranjang dan berjalan lemas, sampai akhirnya ia berbalik sebelum benar-benar meninggalkan kamar. "Kau tahu aku akan dapat menemukanmu ke mana pun kau lari, bukan?"
*****
"Kau sudah mencari tahu?"
Nada khawatir terdengar jelas dari satu-satunya wanita di kediaman Park, wajah cantik itu tak bercahaya, mata itu terlihat redup. Rumah keluarga Park yang heningnya selalu diisi dengan ketenteraman, kali ini harus dipenuhi dengan kerisauan.
Namjoon, putra tertua mereka menjadi lebih rentan sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Ia kehilangan ketenangannya, Park Namjoon lebih sering diam atau berbicara dengan nada tinggi. Beberapa kali Seokjin harus menahan tangisnya demi membantu Namjoon meredam amarahnya. Seokjin mengerti, suaminya tengah merasa gelisah, maka ia akan berusaha semampunya untuk membuat Namjoon merasa tenang.
Menggeleng pelan, Namjoon enggan menatap sang Ibu. Sedikit banyak, ia masih menyalahkan Nyonya Park karena telah membuka pintu rumah mereka pada Taehyung. Jika saja ibunya mengerti, ia tidak akan mempercayai Taehyung dan segala ucapannya begitu saja. Jika saja ibunya melihat kerisauan di wajah Jimin setiap kali mereka menyebut nama Taehyung, semuanya tidak akan seperti ini.
"Aku sudah mencoba untuk menghubungi teman-teman Jimin di Seoul, tapi mereka tidak pernah melihat Jimin. Rumah sakit pun tidak menerima laporan permintaan pemindahan kerja Jimin atau apa pun itu. Dan perawat di departemen Taehyung sama sekali tidak pernah mendengar lelaki itu menyebut nama Jimin."
"Mungkin saja Taehyung menyembunyikan Jimin di apartemen mereka."
Ucapan kepala keluarga Park itu membuat semua mata tertuju pada dirinya.
"Jika Jimin tidak ada bersama Taehyung, dia tidak akan setenang ini. Taehyung pasti sudah mencarinya, melihat betapa gusar dan risaunya dia saat terakhir kali datang kemari, rasanya tidak mungkin Taehyung bisa bersikap tenang," jelas Tuan Park. Ia menarik napasnya dalam. "Cobalah untuk mencari tahu alamat Jimin di Seoul, Namjoon. Jika perlu, aku juga akan mendatangi apartemennya bersamamu." Tegasnya. Membuat Namjoon menganggukkan kepalanya yakin.
*****
Dokter wanita itu tersenyum ramah, menatap Yoongi penuh perasaan bangga. "Jika kau terus melakukannya seperti tadi, aku yakin, kau akan segera dapat berjalan kembali tanpa alat bantu. Kau rajin melatih dirimu di rumah, bukan?"
Yoongi mengangguk kaku. Sejujurnya, ia bohong. Yoongi sama sekali tidak akan melatih dirinya jika Tuan Go tidak mendatangi dan memaksa dirinya untuk berlatih. Dan tampaknya, nama Park Jimin masih menjadi sihir tersendiri meskipun Yoongi enggan untuk mengakuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN OF HOPE
FanfictionA Yoonmin Fanfiction "Hanya karena dirimu. Terima kasih, telah membawaku hidup kembali."