BAB 37

634 85 32
                                    

Mata sendu itu tidak berhenti memperhatikan sosok lelaki yang sejak pagi tadi mengabaikan dirinya. Entahlah, mungkin karena suasana hati seseorang yang sedang mengandung sering kali seberantakan ini tetapi, Hoseok merasa benar-benar diabaikan.

Sampai akhirnya, sebuah ketukan di pintu ruang sang CEO baru terdengar. Jungkook yang semula terus saja berfokus pada telepon dan berkas di atas mejanya, kini mengangkat wajahnya untuk sejenak. Menatap sang Sekretaris yang mulai menyembulkan kepala dan mengangguk sopan.

"Tuan Jeon, sekarang sudah memasuki waktu untuk makan siang. Apakah Anda ingin memesan sesuatu?"

Jungkook menggerakkan alis matanya, seolah dirinya tengah berpikir, lalu mata besarnya itu beralih untuk menatap Hoseok. Ia mengembuskan napasnya panjang ketika dirinya menyadari sesuatu. Kembali menatap sekretarisnya, Jungkook berkata, "Bubur abalon dan beberapa buah-buahan segar, juga air putih. Dan segelas kopi hitam untukku."

Gadis berambut panjang itu mengangguk paham lalu kembali meninggalkan ruangan. Membiarkan Jungkook menghampiri Hoseok yang masih terduduk di atas kursi roda. Menjatuhkan beban tubuhnya untuk berlutut dan menyejajarkan dirinya dengan Hoseok.

"Kau ingin pindah untuk duduk di sofa?" ujarnya lembut, namun Hoseok hanya menggelengkan kepalanya. Jungkook menarik napasnya dalam, meraih kedua tangan Hoseok yang beristirahat di atas pahanya. "Kau marah karena merasa aku mengabaikanmu, Hyung?"

"Kau memang mengabaikanku, Jungkook." Lemahnya.

Jungkook tersenyum tipis mendengarnya. "Ini adalah hari pertamaku, Hyung. Hari pertama kita. Bukankah ini yang selalu kita tunggu-tunggu? Sekarang kita mendapatkannya, bukankah kita harus melakukan semua ini dengan baik?"

Jungkook tersenyum saat Hoseok sama sekali enggan menatap dirinya. Meraih satu sisi wajah itu dengan jemarinya, sementara tangannya yang lain meremas kedua tangan Hoseok erat. "Lihat aku," ujarnya. Memastikan perhatian Hoseok benar-benar teralih pada dirinya. "Kita sudah melangkah sampai sejauh ini. Kau harus tetap fokus pada rencana kita, hm?" Lembutnya. Mengecup dan melumat bibir tipis Hoseok untuk beberapa saat.

Ciuman keduanya semakin dalam, ketika Hoseok yang semula hanya menerima perlakuan Jungkook, perlahan tenggelam pada manis dan lembutnya perhatian yang Jungkook berikan.

Sampai akhirnya ciuman itu terlepas, saat dirasanya, semua yang perlu ia sampaikan telah Hoseok pahami. "Sekarang, kau harus mengisi perutmu, hm? Bayi dan juga papanya membutuhkan double nutrisi." Hoseok tersenyum lembut, menerima kecupan hangat di dahinya. "Ingin aku suapi?"

Hoseok mengangguk pelan, membiarkan Jungkook mengangkat tubuhnya dan memindahkannya ke atas sofa. Menunggu pesanan makan siang mereka tiba.

*****

Helaan napas terdengar jelas dari bibir Seokjin. Tiga hari berlalu sejak Jimin kehilangan kesadarannya, dan keadaannya sama sekali belum membaik. Rasanya seperti de javu. Seolah Seokjin dan keluarga Park, lagi, dan lagi, mendapatkan ujian dengan kesulitan yang dihadapi putra kesayangan mereka. Mengapa kehidupan seberat ini bagi Jimin?

Ia menatap sendu Jimin yang masih terbaring lemah di atas ranjangnya dengan selang infus yang menghiasi punggung tangan kirinya. Mengusap dahi yang terasa dingin itu seraya menyeka tubuh Jimin dengan handuk basah di tangannya. Air matanya menetes, merasakan Jimin yang belum pulih betul dari kejadian sebelumnya, sudah kembali harus terpukul untuk kesekian kalinya.

Seokjin tak lagi bisa menahan dirinya.

Ia bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja di hadapan keluarga mereka, Seokjin harus menenangkan mereka. Tetapi, di saat ia hanya sendiri bersama Jimin, dalam keheningan kamar sang Adik, semua rasa sakitnya tak lagi bisa terbendung.

BORN OF HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang