BAB 42

740 106 41
                                    

Jemari itu bergerak telaten membersihkan tubuh Yoongi seperti apa yang dahulu sering kali ia lakukan. Mengelapnya dengan handuk basah hangat, seolah Yoongi adalah sebuah porselen antik yang mahal.

Senyuman tak pernah luntur dari bibirnya, menyukai apa yang tengah ia lakukan. Merawat dan menjaga Yoongi dengan segenap kemampuannya.

"Hyung, apa kau ingin menggunakan piama biru muda untuk tidur malam ini?" ujarnya selagi memilah baju di antara lemari pakaian Yoongi.

"Kau akan tinggal untuk malam ini?" Yoongi berujar lirih dengan suara seraknya.

Jimin tersenyum dan memutar tubuhnya, berjalan kembali menghampiri Yoongi. Membantu pria yang lebih tua untuk mengenakan pakaian tidurnya. Dan reaksi tubuh Jimin atas apa yang tengah dilakukannya sama sekali tidak berubah, jemari mungilnya sesekali gemetar sementara pipinya memerah hangat. Efek dari Min Yoongi atas dirinya masihlah sangat nyata dan kuat.

Hingga pada kancing terakhir yang ia kaitkan, kini dirinya menjawab, "Aku bahkan sudah meminta izin dari ibu dan ayahku, Hyung. Mereka akan memberikanku izin." Ia melirik ekspresi di wajah Yoongi. "Hanya untuk malam ini." Tambahnya.

Menggeser tubuh Yoongi hingga terdapat cukup ruang untuk dirinya di atas ranjang. Duduk bersandar pada kepala ranjang seperti apa yang sedang Yoongi lakukan. "Apa malam ini aku boleh meletakkan kepalaku di lenganmu, Hyung?" Pintanya lembut.

Dan Yoongi tidak mengatakan apa pun, mungkin rasa bersalah dan tidak enaknya masih begitu besar pada Jimin. Tidak peduli sudah berapa kali pun Jimin jelaskan pada dirinya. Namun, lelaki itu kini membaringkan dirinya, membuat Jimin duduk menegak dan tersenyum saat ia melihat Yoongi merentangkan tangan kanannya. Turut berbaring dan menyamankan kepalanya dalam dekapan hangat tangan kanan Yoongi.

Ia tak bisa menghentikan senyum yang menarik naik kedua sudut bibirnya. Melihat Yoongi dari jarak sedekat ini adalah apa yang selalu ia rindukan.

"Apa aku boleh menyentuh wajah Yoongi Hyung?" Cicitnya, membuat Yoongi tersenyum dan sedikit terkekeh karenanya.

"Apa ada alasan kenapa kau tidak boleh menyentuhnya?"

"Hum." Jimin melipat bibirnya, mengembuskan napasnya sedikit keras. Jika Yoongi bisa melihatnya, mungkin lelaki itu kini sudah terkekeh karenanya. "Karena Yoongi Hyung tidak menginginkan keberadaan Jimin?"

Yoongi terkekeh di bawah napasnya. "Jika memang begitu, kau sudah kuusir sejak awal. Aku juga tidak akan membiarkan Paman Go membukakan pintu rumah untukmu. Apalagi mengiakan permohonanmu untuk merawat diriku malam ini."

Jimin tersenyum malu mendengar ucapan Yoongi.

Ia tidak bisa mengelak dari apa yang baru saja Yoongi ucapkan. Ia memang sedikit "mengemis" kepada Tuan Go dan juga Yoongi agar ia dibiarkan tinggal di sini malam ini. Sedikit memalukan jika ia harus kembali mengingatnya tetapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengekspresikan betapa merindunya ia pada sosok Yoongi.

Maka perlahan, sambil mengembuskan napasnya, Jimin mengangkat tangan kanannya, meletakkannya perlahan pada sisi wajah Yoongi. Menyusuri kening, pipi, juga rahang tirus itu terus menerus. Mengagumi betapa indah makhluk Tuhan yang berada di hadapannya saat ini. Kendati mata legam itu kini hanya terus menatap dirinya kosong.

"Kau pasti terlihat sangat indah saat kau sedang mengagumi wajahku, Jimin," ujarnya. Membawa tangan kirinya untuk mengusap pinggang Jimin dengan penuh kelembutan. "Sayang, di sini terlalu gelap saat ini."

Jimin tersenyum sendu mendengarnya. "Uhm." Ia mengangguk pelan, sebisa mungkin menahan air matanya. "Kau harus membeli lampu tidur yang baru, Hyung. Yang ini terlalu gelap. Aku tidak suka, karena lampunya membuat Jimin juga tidak bisa melihat wajah tampan Yoongi Hyung dengan jelas."

BORN OF HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang