"Bukankah kontrak kerjamu dengan Tuan Min hanya tinggal satu bulan lagi, Nak?" Nyonya Park bertanya selagi menyiapkan meja makan mereka.
Jimin tidak bisa beristirahat semalaman. Setelah pesta selesai, benaknya tidak bisa berhenti untuk memikirkan semua yang terjadi pada dirinya. Kenapa ibunya harus--
"Ah, ya, Eomma. Kau benar," gumamnya, menyadari apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya.
Kenapa waktu berjalan dengan begitu cepat? Ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana jika kau mencari penggantimu dan kembali ke Seoul, Jimin?"
Gerakan tangannya yang tengah sibuk bermain dengan sumpit terhenti.
"Bekerja dan tinggallah lagi di sana, Taehyung membutuhkanmu. Lagipula, bukankah kalian harus mulai menyiapkan pernikahan? Taehyung juga akan disibukkan dengan kegiatan studinya, dia harus mengejar karir dan gelarnya. Akan sangat merepotkan bagi Taehyung, jika dia harus menyempatkan diri berkunjung ke Busan hanya untuk menemuimu."
Jimin menghela napasnya, meletakan sumpitnya lalu berdiri dan berniat untuk pergi dari meja makan. "Aku sudah selesai sarapan." Ia mulai menyiapkan makanan untuk Yoongi dan bergegas meninggalkan rumahnya. "Jangan khawatir, Eomma. Aku sedang memikirkan cara terbaik." Berjalan terburu ke depan pintu rumahnya.
Mengulum sebuah senyuman sendu, mengeratkan pegangannya pada tas kerja dan juga kotak bekal untuk Yoongi. "Aku berangkat, Eomma, Appa!"
***
Setibanya di sana, ia mendapatkan ucapan selamat dari para penghuni di kediaman keluarga Min. Tak terkecuali dari Nyonya Jung yang tersenyum tipis dan mengangguk kaku.
Jimin terkekeh, saat orang tua di sana menyampaikan doa mereka dan mulai mencari tahu tentang calon suaminya. Ia mengalah. Mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Taehyung yang ada di galeri ponselnya, mendapatkan balasan takjub dari mereka yang melihatnya.
Ia kembali terkekeh dan mengangguk malu. Mengiyakan ucapan mereka, yang mengatakan bahwa Taehyung adalah lelaki tampan dengan paras bak seorang dewa.
Taehyung, adalah pahatan kesempurnaan.
"Kau sangat beruntung memilikinya, Nak." Nyonya Ong mengingatkan. "Kau tidak akan bosan terbangun dengan wajah tampannya di sampingmu."
Mereka terkekeh pelan karena gurauan itu. "Astaga, bagaimana bisa pria tua ini menyimpan rahasia sebaik ini, eoh?" Nyonya Ong menepuk lengan Tuan Go pelan. "Jahat sekali. Wanita tua seperti kami sekalipun, membutuhkan asupan nutrisi. Bagaimana bisa kau menyembunyikan wajah pria tampan dari kami?"
Jimin tertawa karenanya. "Sudahlah, Bi. Maafkan Paman Go, eung? Paman hanya tidak ingin membocorkan sesuatu yang menjadi rahasiaku."
"Hum, kalau begitu, kau dan calon suami tampanmu itu harus mentraktir kami makan malam suatu hari nanti, ya?"
Jimin mengangguk dengan sebuah senyuman di bibirnya. "Tentu," gumamnya. "Kalau begitu, aku permisi. Aku harus menemui Tuan Min." Ia menunduk sopan lalu mulai berjalan meninggalkan mereka, yang masih sibuk membicarakan tentang pesta pertunangannya.
"Astaga. Padahal aku sangat menyukainya, tapi kalau Jimin menikah nanti. Bukankah ia juga akan berhenti bekerja di sini seperti Chungha dan Seokjin? Dia akan kembali meninggalkan Busan dan mengikuti suaminya, ke mana pun lelaki itu pergi." Nyonya Ong menghela napasnya sendu.
Dan Jimin, hanya bisa mengeratkan pegangannya pada barang bawaan di tangannya. Berpura-pura tidak mendengar apa pun yang mereka bicarakan.
Ia menarik napasnya dalam saat kepalanya mendongak, menemui pintu kamar Yoongi yang masih tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN OF HOPE
FanfictionA Yoonmin Fanfiction "Hanya karena dirimu. Terima kasih, telah membawaku hidup kembali."