34 : Alasan Terkuat Kamu, Apa?

2.2K 492 22
                                    

Gue adalah tipikal orang yang kalau penasaran terhadap suatu hal akan terus mencari jawabannya sampai dapat. Kalau belum menemukan jawabannya, dijamin pikiran gue nggak akan bisa tenang tenang meskipun itu cuma hal sepele. Maka hari ini gue putuskan untuk menemui Mbak Upi setelah berhari-hari kepala gue dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang cukup menganggu. Gue mau bertanya tentang banyak hal kepada Mbak Upi. Untuk itulah gue mengajak Mbak Upi untuk ketemuan di salah satu kafe pagi ini.

Tapi semua rencana gue harus berantakan hanya karena motor Kakung yang tiba-tiba saja macet. Meskipun Kakung sudah mengingatkan, "Ndak papa, kan ini diluar kendali kita." Tapi gue tetap saja merasa kesal.

"Daripada pesan ojek online, lebih baik minta diantarkan Arga saja sana, Nduk." ucap Kakung menyarankan.

Gue berpikir sejenak. "Tapi motornya?"

"Nanti biar Kakung yang bawa ke bengkel."

"Risa naik ojek aja ya, Kung? Nanti biar Arga yang bantu Kakung bawa motornya ke bengkel." ucap gue kemudian.

"Ndak perlu. Bengkelnya kan dekat, Kakung bisa sendiri. Sana Risa berangkat, nanti keburu siang." ujar Kakung dengan senyum ramahnya.

Seketika gue dilanda rasa dilema. Nggak mungkin gue meninggalkan motor ini di sini untuk diantarkan ke bengkel oleh Kakung nantinya. Karena pasti setelah gue berangkat, Kakung akan langsung membawanya ke bengkel. Padahal fisik Kakung sudah nggak sekuat dulu lagi. Rambut Kakung sudah memutih hampir seluruhnya, kulit tubuhnya mulai mengeriput, badannya jelas nggak sekuat seperti waktu beliau masih muda dulu. Meskipun Kakung dulunya adalah pemain sepak bola, lebih tepatnya seorang kiper, tapi tetap saja saat ini Kakung sudah sepuh, benar-benar sudah nggak sekuat dulu.

"Atau Risa yang bawa sekalian berangkat aja, Kung? Nanti dari bengkel, Risa naik ojek online." usul gue.

"Ndak usah. Kamu sudah rapi gini masa dorong-dorong motor. Ndak pa-pa, Kakung itu masih kuat kalau cuma dorong motor sampai bengkel, Nduk." ucap Kakung setengah terkekeh. "Sudah sana kamu berangkat. Ndak baik kalau sudah janjian sama orang tapi datangnya ndak tepat waktu."

Gue berpikir sejenak. Akhirnya dengan berat hati gue mengiyakan ucapan Kakung.

"Nanti kalau misalnya Kakung nggak kuat jangan dipaksain, biar Risa yang bawa ke bengkel sepulang ini nanti. Ya, Kung?"

"Maa syaa Allah putuku sing ayu dewe. Nggih, Nduk." ucap Kakung tersenyum sembari mengelus pucuk hijab gue.

(Maa syaa Allah cucuku yang paling cantik. Iya, Nduk.)

Gue ikut tersenyum. "Ya udah, Risa pamit ya, Kung. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Jadi minta antar Arga to, Nduk?"

"Jadi, Kung."

Setelah bersalaman dengan Kakung, gue langsung berjalan menuju ke rumah Arga dan masuk melalui pintu samping. Kepala gue menyembul lewat pintu yang terbuka setengahnya.

"Assalamu'alaikum, Arga?" ucap gue.

Sudah semenit berlalu, nggak ada jawaban dari dalam.

"Om Yusuf?" Masih nggak ada jawaban.

"Tante Aisyah?" Lagi-lagi nggak ada jawaban.

Dahi gue berkerut. Ruma Arga sepertinya sepi. Jam segini dihari Minggu seharusnya semua anggota keluarga ada di rumah. Kalaupun mereka pergi, pasti pintunya sudah di kunci.

Dengan santainya gue langsung masuk ke dalam rumah untuk memeriksa, dan tujuan awal gue adalah kamarnya Arga. Tapi saat gue baru sampai di ruang tengah, sayup-sayup gue bisa mendengar suara Arga di ruang tamu dari tempat gue berada. Maka tanpa perlu berlama-lama lagi, gue langsung berjalan ke arah ruang tamu sambil teriak, "Argaaa, tolong anterin gue donggg!!!"

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang