9. Sebuah Kejutan

3.1K 722 22
                                    

Hari ini adalah hari pertama gue pergi ke sekolah menggunakan seragam baru. Meskipun sebenarnya warna seragam dan modelnya juga masih sama seperti biasanya, putih abu-abu. Tapi yang membuat gue merasa berbeda hari ini adalah gue harus menggunakan hijab untuk pergi ke sekolah. Hijab putih dengan logo SMA di ujung belakangnya itu adalah seragam resmi dari sekolahan, satu setel dengan seragam putih abu-abunya. Bahkan, baru membayangkannya saja gue sudah merasa gerah duluan untuk mengenakan hijab tebal ini.

Gue sangat jarang memakai hijab secara istiqomah. Terakhir kali itu sewaktu gue masih duduk di bangku SMP kelas satu akhir. Selebihnya, untuk tahun-tahun berikutnya gue hanya memakai hijab ke sekolah itu seminggu sekali ketika jam pelajaran agama Islam. Itu pun hanya di jam mata pelajaran itu. Setelah jam pelajarannya selesai, hijabnya selalu gue lepas lagi.

Sudah hampir 20 menit gue mencoba untuk memakai hijab ini di depan kaca. Sialnya, selalu nggak berhasil. Dulu gue selalu memakai hijab langsungan, jadi lebih mudah. Gue nggak pernah memakai model hijab segi empat seperti yang ada di tangan gue saat ini. Jujur, ini adalah pertama kalinya untuk gue memakai model hijab seperti ini. Gue sangat kesulitan untuk memakai hijab ini, selalu nggak jadi terus. Entah karena lipatannya yang nggak pas, panjang sebelah antar ujungnya, atau malah hampir melorot karena nggak pakai dalaman hijabnya. Ada-ada saja.

"Segitu nggak pernahnya pakai hijab, ya?"ucap Arga yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu kamar, mengagetkan gue. Mungkin karena kelamaan menunggu di luar, sampai-sampai Arga memeriksa ke kamar gue.

"Diem aja ya lo kalau nggak ngebantu." balas gue dengan tangan yang masih sibuk menyatukan lipatan hijab di bawah dagu dengan jarum pentul.

Arga nggak menjawab ucapan gue tapi dia malah menjauh dari ambang pintu kamar, entah mau ke mana. Sekitar satu menit kemudian dia datang lagi kamar gue sambil membawa satu kain kecil berwarna putih yang gue duga sebagai dalaman hijab.

"Sini," ucap dia sambil memutar badan gue agar duduk menghadap dia. Dengan telaten Arga memasangkan kain hitam tadi ke kepala gue—yang ternyata memang benar dalaman hijab.

"Emang lo bisa?" tanya gue.

"Bisa, lah. Dulu aku sering lihat Bunda pakai hijab beginian, makanya aku tahu caranya." jawab dia sambil masih terus fokus melipat hijab segi empatnya supaya berbentuk segitiga. Gue mengangguk. Bundanya Arga—Tante Aisyah, itu mau pakai hijab model bagaimana pun juga tetap cantik dan modis.

"Ini punya siapa?" kata gue menunjuk dalaman hijab yang udah terpasang rapi di kepala dan menutupi bagian depan rambut gue itu.

"Bunda, masa punyaku." Sedangkan gue cuma ber-oh ria saja sebagai jawaban.

Selang beberapa menit setelah Arga melipat hijabnya menjadi bentuk segitiga, dia langsung memasangkannya ke kapala gue. Dengan hati-hati bahkan dia mulai menusukkan jarum pentul itu di lipatan hijab bawah dagu gue. Akhirnya Arga pun sudah selesai memasangkan gue hijab. Sebenarnya gue sangat malu dengan hal ini. Sebegitunya nggak pernahnya gue pakai hijab, sampai-sampai harus Arga yang memasangkannya untuk gue. Dan jujur, hasil jilbab yang dipakaikan Arga ini jauh lebih bagus dari percobaan gue yang sebelumnya tadi. Tapi gue lega, setidaknya kalau melihat penampilan gue yang sekarang, sepertinya gue lebih layak untuk disebut cucu Ustadz sih daripada kemarin-kemarin.

"Makasih, Ga." kata gue singkat.

"Tumben." bukannya membalas ucapan terima kasih gue dengan 'sama-sama', dia malah mengejek gue sambil terkekeh. Padahal gue sudah serius ini, jarang-jarang loh gue mau mengucapkan kalimat itu untuk Arga.

Gue pun melengos dan meninggalkan Arga keluar dari kamar lebih dulu, lalu pamit kepada Kakung dan Uti.

Karena insiden kelamaan pakai hijab tadi, kita berdua hampir saja telat. Bel sekolah berbunyi saat kita berdua baru melewati gerbang depan beberapa meter. Syukurlah nggak terlambat.

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang