14. Terciduk

2.9K 651 35
                                    

"ANJ—ASTAGHFIRULLAH!!! PELAN PELAN BU!"

"YA ALLAH SAKIT YA ALLAH"

Baru lima menit Ibunya Chandra mulai memeriksa dan mengurut pergelangan kaki kiri gue yang benar-benar keseleo, tapi gue bahkan sudah berkali-kali berteriak kesakitan. Bukannya semakin membaik, rasanya kaki gue seperti mau patah sampai-sampai membuat gue ingin mengumpat dan mengeluarkan segala jenis kosa kata kasar di kepala gue. Tapi semuanya urung karena yang ada di depan gue saat ini adalah Ibunya Chandra. Untung gue masih bisa mengontrol mulut ini meskipun hampir saja keceplosan.

"Tahan sebentar lagi ya, Nduk." ucap Ibu mencoba menenangkan gue.

Nggak bisa. Rasa sakit di pergelangan kaki ini justru bertambah sakit saat secara tiba-tiba diputar oleh Ibunya Chandra sampai mengeluarkan suara renyah di sana. Gue menjerit karena saking sakitnya, sedangkan Chandra yang sejak tadi memperhatikan gue diurut oleh Ibu justru menertawakan gue alih-alih merasa kasihan. Luka-lukanya sudah selesai diobati, nggak ada yang lebih serius daripada lecet-lecet tadi. Dia bahkan bisa duduk dengan tenang di atas sofa sambil memakan astor dan minum teh hangat yang dibuatkan Mbak Lusi. Oh iya, perempuan tadi memang kakaknya Chandra, namanya Lusiana.

Chandra tertawa. "Kalau kesakitan baru bisa nyebut ya kamu, Sa."Sedangkan gue melotot ke arahnya. Dia nggak tahu saja seberapa sakitnya kaki gue saat ini.

"Huss.. Chandra ndak boleh gitu Dek, sama temennya." ucap Ibu menegur Chandra.

Akhirnya setelah memutar pergelangan kaki kiri gue tadi, Ibu mengakhiri sesi urut-mengurut yang amat teramat sangat menyakitkan itu dan menurunkan kaki gue dari pangkuannya. Gue pun bisa menghembuskan napas lega setelahnya.

"Coba digerakin dulu kakinya, Nduk." pinta Ibu setelah itu.

Gue menurut dan ragu-ragu memutar-mutarkan pergelangan kaki kiri gue. Setelahnya gue langsung mencoba untuk berdiri dan menapakkan kaki ke lantai lalu mencoba berjalan. Sudah tidak terasa sakit seperti tadi meskipun masih menyisakan sedikit rasa ngilu.

Gue tersenyum sumrigah ke arah Ibunya Chandra. "Alhamdulillah, Bu. Kaki Risa udah mendingan, udah nggak sesakit tadi rasanya. Terima kasih banyak ya, Bu."

"Alhamdulillah.. sama-sama, Nduk." Ibunya Chandra ikut tersenyum dan mengelus pucuk hijab gue dengan pelan. "Ya sudah, kalian pasti belum makan siang kan? Ayo makan dulu, kebetulan Ibu masak banyak tadi." lanjut Ibu sambil langsung berlalu ke dapur.

"Eh? Nggak perlu repot-repot, Bu. Risa langsung pulang aja." ucap gue mencoba menolak sambil mengambil tas bersiap untuk segera pulang. Gue nggak enak. Keluarga ini terlalu baik bahkan setelah gue membuat Chandra jatuh gara-gara gue boncengkan tadi. Apalagi Ibu sampai repot-repot mau mengurut kaki gue secara cuma-cuma, masa iya gue mau numpang makan di sini juga?

"Sudah nggak apa-apa. Ibu malah senang kalau Risa mau ikut makan siang di sini juga. Ayo Dek, Risa-nya diajak." ucap Ibu sambil melambaikan tangannya dan memberikan perintah kepada Chandra agar mengajak gue.

"Ayo, Sa. Nggak usah malu-malu gitu deh, biasanya juga malu-maluin ." tukas Chandra dan refleks membuat gue melotot ke arahnya. Tapi tak urung juga akhirnya gue mengikuti langkah kaki Chandra dan Ibu menuju ke ruang makan. Setidaknya untuk menghargai Ibu.

---

Selepas acara makan siang tadi gue belum langsung pulang karena gue mendapatkan pesan dari Uti kalau mereka sedang pergi ke kajian. Maka alih-alih pulang, gue meminta izin kepada Uti untuk main sebentar di rumah Chandra selain karena ditawari Chandra untuk main PS. Syukurnya Uti memberikan izin asal pulang sebelum pukul lima sore.

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang