37. Best Friend

1.8K 453 45
                                    

Dengan sedikit keberanian yang masih tersisa, hari ini gue memutuskan untuk memulai panggilan ini. Sudah lebih dari seminggu gue mengabaikan semua panggilan dia. Takut, deg-degan, pokoknya semuanya campur aduk. Gue cuma takut kalau dia nanti kecewa dan berujung meninggalkan gue.

Saat dering telepon mulai tersambung, saat itu juga degup jantung gue semakin kencang. Ya Allah, padahal gue cuma mau menelpon Adel, tapi kenapa jadi menakutkan begini rasanya.

"RISA ANJ*NG!!!"

"Astaghfirullahaladzim.." ucap gue reflek mengelus dada sambil menjauhkan ponsel dari telinga.

Demi Allah gue kaget. Serius kaget banget. Selain karena suara teriakan Adel, gue sudah cukup asing dengan segala jenis umpatan. Di sini, bukan cuma mulai berhenti berkata kasar, gue bahkan nggak pernah menerima lagi umpatan-umpatan dari orang lain. Karena gue sadar, lingkaran pertemanan gue yang sekarang jauh lebih baik dari yang dulu. Di sini, di lingkaran pertemanan gue yang baru, umpatan bukan suatu hal yang wajar, apalagi untuk perempuan. Gue benar-benar diajari cara untuk menjaga lisan.

"MAKSUDNYA APAAN LO DIEMIN GUE SEMINGGU LEBIH, HAH?!"

"KALO GUE ADA SALAH TUH BILANG. JANGAN NGILANG!"

"GUE STRES TAU LO TIBA-TIBA NGILANG! TIBA-TIBA NGGAK ANGKAT TELEPON GUE! TIBA-TIBA NGGAK BALES CHAT GUE TANPA NGASIH PENJELASAN APAPUN!"

"LO KEHABISAN KUOTA? LO KAGA ADA SINYAL? JANGAN BOHONG!! LO AJA ONLINE TERUS BAHKAN BISA BIKIN STATUS!!"

"LO UDAH NEMU SAHABAT BARU YA? LO KAGA MAU TEMENAN LAGI SAMA GUE? BILANG SAAA!!"

Setelah meluapkan emosinya selama hampir lima menit, akhirnya dia berhenti juga. Dari seberang sini, gue bisa mendengar deru nafas Adel yang terlihat sangat menahan amarah. Oke, gue paham kalau di sini gue yang salah. Bahkan kalau gue jadi Adel, mungkin saja gue juga akan bersikap seperti ini.

Perlu kalian ketahui, sudah seminggu lebih gue mengabaikan semua pesan dan panggilan Adel tapi dia masih rutin dan berusaha untuk menghubungi gue meskipun hasilnya selalu zonk. Mungkin sudah lebih dari ratusan panggilan dan ribuan pesan spam yang dia kirimkan dan selalu gue abaikan. Gue takut, gue nggak tahu gimana caranya ngomongin ini ke Adel dengan cara yang baik.

"Udah marah-marahnya?" tanya gue mencoba untuk sesantai mungkin.

Bukannya menjawab, Adel mematikan panggilan telepon itu dan langsung mengalihkannya ke video call.

Sekarang gue bisa melihat dengan jelas di seberang sana, muka merah padam Adel dengan bahu yang naik turun, seolah-olah menahan tangis dan amarah. Ya Allah, gue nggak tega. Gue jadi merasa sangat bersalah.

"Del, maaf."

"Gue ada salah ya sama lo?" ucap Adel dengan bahu yang masih bergetar dan menahan tangis.

Dengan tegas gue menggeleng. "Nggak, lo nggak ada salah sama sekali. Gue yang salah. Gue minta maaf, Del." ucap gue setengah menunduk.

"Lo baik-baik aja?" Seketika terlihat jelas raut wajah khawatir Adel.

Gue menghembuskan nafas kasar. Untuk sejenak gue mengangkat wajah gue, berusaha untuk menahan air mata yang sudah siap meluncur dengan deras.

"Gue minta maaf, Del." ucap gue sekali lagi.

"Iya gue maafin. Sekarang cerita, lo kenapa?" tanya Adel.

"Gue bingung mau bilangnya gimana..."

"Lo kayak sama siapa aja dah, biasa juga ceplas ceplos!"

"Gue takut lo nanti marah Del.."

"GUE EMANG UDAH MARAH BEGO!"

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang