7. Tentang Lucas

3.5K 724 18
                                    

Sepulang dari rapat REMAS dua jam yang lalu, gue nggak langsung merebahkan diri di kasur untuk tidur. Panggilan video dari Adel membuat mata gue yang sebelumnya sudah sangat mengantuk tiba-tiba jadi terbuka lebar lagi. Sudah hampir dua hari gue sama Adel nggak berkomunikasi sama sekali karena kesibukan pindahan gue di sini. Maka saat melihat nama dia terpampang di layar ponsel gue, tanpa berpikir dua kali gue langsung mengangkatnya. Gue kangen Adel.

Gue cerita banyak hal dengan Adel. Tentang kehidupan gue di sini, tentang sekolah dan teman-teman baru gue, tentang kejadian di rapat REMAS tadi, dan tentu saja tentang laki-laki menyebalkan bernama Renjun yang berkali-kali sudah merusak khayalan gue tentang sosok Renjun Lokal itu. 

"Hati hati loh, Sa. Nanti lo suka beneran sama si Renjun KW itu. Biasanya kan yang awalannya benci malah jadi cinta."

Entah kenapa salah satu ucapan Adel itu masih terus terngiang di kepala gue. Nggak. Gue nggak boleh suka Renjun yang itu, dia menyebalkan. Meskipun gue sangat menginginkan sosok Renjun lokal, tapi bukan berarti gue mau sama dia. Renjun yang lain pasti masih ada. Kalaupun nggak ada, gue masih bisa memperjuangkan Renjun yang asli. Hehe, bercanda.

Tiga menit lagi sudah pukul duabelas malam dan gue pun memutuskan untuk segera tidur. Badan gue sudah terlalu lelah dan mata gue sudah nggak kuat untuk menahan kantuk lagi. Lagipula besok gue perlu berangkat ke sekolah, jadi gue harus tidur cepat supaya nggak terlambat.

Belum sempat memejamkan mata, tiba-tiba ponsel yang gue letakkan di atas nakas samping kasur bergetar lagi. Gue mendengus. Siapa pula yang menelpon orang tengah malam seperti ini? Apa nggak tahu kalau ini waktunya untuk orang-orang istirahat?

Dering pertama masih gue abaikan. Gue malas mengangkatnya. Pun dengan dering kedua dan ketiga. Tapi setelah keempat kalinya gue abaikan dan orang itu masih saja mencoba untuk mengubungi gue, maka dengan malas-malasan akhirnya gue putuskan untuk mengangkat telepon itu. Selain itu gue juga takut deringnya yang cukup keras membuat Kakung dan Uti yang kamarnya berada di sebelah gue jadi terganggu. 

Gue sudah menyiapkan tenaga untuk memaki orang di seberang sana, yang dengan nggak tahu dirinya menelpon tengah malam seperti ini. Tapi saat melihat nama yang tertera di layar ponsel, seketika rasa kesal dan marah gue langsung luruh. Bahkan mata gue yang tadinya masih menahan kantuk tiba-tiba terasa segar kembali. 

"Hey, bro!" sapa gue sumringah, tapi sepertinya enggak dengan orang yang ada di seberang.

"GILA YA LO, AL? PINDAH KE JOGJA NGGAK NGASIH TAU GUE?"

Orang di ujung sana langsung menyemburkan kalimat itu bahkan tanpa aba-aba, membuat gue refleks menjauhkan ponsel dari telinga. Ini sudah pukul dua belas lewat lima, suara kecil pun juga akan terdengar keras. Tapi setidaknya gue sudah memprediksikan semua ini. Nggak mungkin dia nggak marah, atau nggak mungkin dia akan balik menyapa gue dengan ekspresi yang sama senangnya seperti gue.

"Eh? Adel nggak ada ngomong sama lo, ya?" Gue pura-pura bodoh sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal, meskipun orang di seberang sana nggak bisa melihat apa yang gue lakukan.

"Kenapa harus Adel yang kasih tahu? Kenapa nggak lo sendiri? Lo jahat tahu nggak? Gue bela-belain langsung pulang ke rumah lo setelah hampir tiga hari kunjungan industri dan nggak ketemu sama lo, tapi apa? Papa bilang lo udah di Jogja dari beberapa hari yang lalu dan lo sama sekali nggak ngasih tahu gue? Lo.. nyebelin, tahu nggak? Lo tahu gue nggak ada temen disini, Al! Tapi kenapa lo ninggalin gue? Lo kan udah janji nggak akan pindah ke Jogja.." 

Gue pun masih setia mendengarkan segala hal yang dia lontarkan, nggak menyela sama sekali. Karena gue tahu, kalau gue memang salah. Dia adalah Lucas, salah satu sahabat terbaik gue selain Adel. Dan dia adalah satu-satunya orang yang selalu memanggil gue dengan nama Alifa. 

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang