49. Take Off

2K 532 121
                                    

Setelah kejadian itu, malam di mana gue berputar keliling Jogja sambil menangis. Esoknya badan gue langsung terserang demam karena saat itu gue lupa mengenakan jaket. Nggak tanggung-tanggung, gue demamnya sampai lima hari. Badan dan hati gue agaknya terlalu capek sampai nggak kuat menahan bebannya.

Imbasnya, gue harus menunda keberangkatan ke Jakarta sampai sepekan. Kakung dan Uti nggak keberatan gue memajukan keberangkatan ke Jakarta sebulan lebih cepat, tapi karena gue tiba-tiba sakit maka mau nggak mau gue harus nurut untuk dimundurkan. Pilih mundur sepekan atau tetap kembali seperti rencana awal yaitu sebulan lagi. Dan gue lebih memilih untuk pulang sepekan kemudian.

Sampai saat ini belum ada tanda-tanda Renjun mengabarkan bahwa dirinya akan menikah. Masa ta'aruf sudah jalan tiga bulan berarti sudah cukup lama bukan? Dan gue yakin kalau ngga lama lagi Renjun akan mengumumkan berita pernikahannya. Maka sebelum berita itu sampai ke telinga gue, gue sudah harus jauh-jauh dari semua ini. Baru mendapat kabar bahwa Renjun sedang ta'aruf aja gue hancurnya bukan main, apalagi kalau dia benar-benar jadi menikah dengan perempuan lain.

Tapi satu hal yang gue tekankan berkali-kali guna menguatkan diri sendiri—meskipun terdengar kelewat percaya diri adalah mau sama siapapun dia ta'aruf saat ini, kalau ternyata yang tertulis di Lauhul Mahfudz adalah nama gue, bisa apa?

Gue yakin takdir Allah itu pasti indah, kalau belum indah berarti takdirnya belum selesai. Begitu kata kutipan salah satu buku yang baru selesai gue baca beberapa pekan yang lalu. Mau sejauh apapun jarak kita, mau seberat apapun cobaan kita, kalau sudah jadi jodohnya maka akan tetap dipertemukan dan disatukan.

Ngga perlu sedih berlebihan. Ngga perlu menangis tersedu-sedu sambil memutar playlist lagu galau. Cukup doakan yang terbaik dan jalani hidup seperti biasanya. Jangan sampai rasa khawatir ini membuat gue meragukan rencananya Allah. Jangan sampai.

Maka saat gue menarik koper masuk ke pelataran Yogyakarta Internasional Airport, pada saat itu juga gue berkali-kali meyakinkan diri sendiri, bahwa kepergian gue semata-mata untuk melanjutkan pendidikan ke negeri seberang. Bukan untuk menghindari kalau saja kabar pernikahan itu sampai ke telinga gue. Hanya saja momennya memang sangat pas.

---

Siang ini cuacanya cukup bagus. Matahari bersinar sejak tadi pagi, nggak menunjukkan tanda-tanda akan turunnya hujan. Hari ini gue sudah berjanjian untuk ketemuan sama Jeje di kafe dekat kampusnya, Universitas Indonesia. 

"Gimana nih rasanya jadi anak Kedokteran UI, Je?" ucap gue sesaat setelah menyeruput minuman.

Nggak terasa sudah hampir dua bulan gue di Jakarta, dan lusa adalah hari keberangkatan gue ke Korea Selatan. Dua bulan gue habiskan bersama Papa di Jakarta dengan rutinitas yang sebenarnya biasa saja. Saat weekday, gue hanya akan rebahan di rumah, baca buku, atau sesekali nonton film. Baru nantinya saat weekend, gue sama Papa menghabiskan waktu dengan pergi jalan-jalan, kemanapun.

Momen pergantian tahun sebulan yang lalu juga gue habiskan dengan Papa di rumah. Kami ngga merayakan tahun baru, lebih tepatnya ngga pernah. Pergantian tahun bukan untuk dirayakan dengan pesta kembang api, tapi untuk dijadikan bahan muhasabah. Tahun terus berganti, waktu terus berlalu, dan jatah usia terus terkikis. Namun coba lihat, sudah seberapa banyak kita menebar kebermanfaatan untuk sekitar selama ini, sudah sejauh apa kita mengumpulkan bekal untuk kehidupan selanjutnya nanti. Sudah sesiap apa kita menghadapi kematian?

Ah, ngomongin soal waktu memang selalu begitu, selalu berlalu dengan secepat ini.

"Ya gitu. Capek sih, tapi seneng, haha." ujar Jeje terkekeh.

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang