41. Hello Future

2.1K 522 76
                                    

Gelak tawa siswa dan siswi, aroma masakan ibu kantin, pemandangan para siswa yang berebut antrian, dan tentunya semua suasana di sekolah ini, dua sampai tiga tahun ke depan pasti akan menjadi hal yang sangat gue rindukan.

Mungkin saat gue dan teman-teman nanti sudah pisah, sudah mulai fokus dengan dunia yang baru, entah bekerja, kuliah atau kesibukan lain apapun itu, semua momen ini baru akan terasa sangat berharga. Momen-momen jadi anak SMA, yang katanya adalah masa paling indah.

Kalau boleh jujur, gue juga sangat merindukan suasana sekolah gue yang lama. Meskipun hanya sempat merasakan jadi siswi SMA di Jakarta kurang lebih cuma satu setengah tahun, tapi memori yang bisa gue bangun cukup banyak. Ya... meskipun kebanyakan itu memori masa-masa jahiliah gue sih, hehe.

"Kalian nanti jadinya mau ngelanjutin kemana?" tanya Anisa membuka pembicaraan.

Nayla yang sedang mengaduk jus alpukatnya langsung menjawab, "Pengen Pendidikan Agama Islam di UIN, semoga lolos." ucapnya dengan senyum lebar, yang lain pun ikut berbinar mendengar jawaban dari Nayla.

"Aku dari kelas dua pengen HI, makanya nyesel masuk IPA. " ujar Latifah.

"Kan bisa linjur, Fah." ucap gue sambil menumpahkan saos di mangkok bakso. Bakso favorit sejak pertama kali gue masuk sekolah ini.

"Iya, tapi agak nggak yakin."

"Bisa, bismillah."

Latifah tersenyum sebagai jawaban. Sambil meraih botol saos dari tangan gue dia bertanya, "Kalau kamu, Sa?"

"Aku tebak mau ambil Bahasa Korea, ya?" sahut Nayla.

Gue mengangkat kedua jempol di udara dan tersenyum sangat lebar sebagai jawaban.

Nayla pun ikut terkekeh. "Hahaha karena aku sering lihat kamu bikin status lagi belajar Bahasa Korea,"

"Di mana, Sa? UGM?" tanya Annisa.

Gue menggeleng pelan. "Mau nyoba daftar ke Korea Selatan, An."

"Wahh mantep banget, semoga lolos ya, Sa!" ucap Latifah mengacungkan kedua jempolnya. Lagi-lagi yang lain pun ikut berbinar mendengar jawaban gue.

"MaasyaAllah. Semangat Risa, pasti bisa!" ucap Annisa.

"Risa kalau udah tertarik sama sesuatu kan semangatnya tinggi banget, apalagi soal ini. Pasti bisa lolos." tambah Nayla.

Gue terkekeh. "Aamiin. Kalau kamu, An?"

"InsyaAllah pengen daftar Sastra Arab UGM, doakan ya."

"Maa syaa Allah Sastra Arab, hebat banget." ujar Latifah yang langsung diangguki oleh Nayla.

Jadi keinget Mbak Fatim, batin gue.

"Apapun itu, pilihan kita semua nanti, semoga bisa lolos di bidang masing-masing ya!"

"Aamiin."

Wajar, kegelisahan siswa tingkat akhir adalah soal mau melanjutkan masa depannya kemana. Ngobrolin soal masa depan itu nggak akan pernah ada habisnya, dan akan selalu berakhir dengan sebuah bentuk kekhawatiran. Sekalipun kita sudah berusaha dan berdoa semampu yang kita bisa, tapi masalah hasil kita nggak akan pernah tahu.

Akhir-akhir ini pertanyaan soal "Mau ngelanjut ke mana?" seolah-olah sudah jadi makanan sehari-hari gue. Bahkan ibu-ibu yang jarang mengobrol sama gue pun pas nggak sengaja bertemu di warung juga menanyakan itu waktu tahu gue adalah anak kelas 12 SMA.

Gue ngga begitu risih soal pertanyaan itu, gue jauh lebih risih sama respon setelahnya yang seolah menjatuhkan. Ngga sedikit yang meremehkan gue karena pilihan yang gue ambil dianggap terlalu tinggi, dibilang mustahil bakal lolos ke Korea. Padahal sekali lagi, soal hasil kan ngga ada yang tahu, kita cuma diminta untuk berproses demi mengusahakan suatu hasil. Kalau kita belum berhasil bukan berarti rencana Allah itu gagal. Ada beribu-ribu rencana lain yang sudah disiapkan oleh Allah, yang jauh lebih indah dari rencana kita. Kan semuanya sudah ada yang mengatur. Percaya aja deh.

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang