16. Buka Bersama

2.6K 648 19
                                    

Setelah mengambil pesana batagor dan es buah tadi, gue langsung mengikuti motor Mbak Fatim dari belakang. Sejak memasuki gang komplek perumahan, sebenarnya gue sudah mulai terkejut. Gue bahkan baru tahu kalau Mbak Fatim satu komplek dengan gue. Karena kita memang belum pernah bertemu sebelum kejadian motor macet malam itu. Gue juga nggak pernah melihat Mbak Fatim di rapat REMAS atau sekadar berpapasan di jalan. Keterkejutan gue nggak berhenti di sana saja, karena dengan tiba-tiba Mbak Fatim membelokkan motornya memasuki pekarangan rumah Renjun. Iya, rumah Muhammad Renjun Alfansa yang tepat berada di samping rumah Chandra itu.

Batin gue langsung berpikir keras. "Jangan bilang kalau Mbak Fatim ini kakaknya Renjun?" Apalagi tempo lalu Renjun pernah menyebutkan tentang kakaknya. Rasanya gue nggak rela kalau orang sebaik dan secantik Mbak Fatim ini ternyata benar kakaknya Renjun.

"Ayo masuk, Risa." ucap Mbak Fatim membuyarkan lamunan gue. Gue segera mengikuti langkah Mbak Fatim sambil menenteng plastik berisi es buah dan batagor yang sebelumnya akan gue bawa pulang itu.

"Assalamu'alaikum." Mbak Fatim mengucap salam sambil membuka pintu depan. 

Meskipun hampir setiap berangkat sekolah gue selalu melewati rumah ini, tapi hari ini adalah kali pertama gue akan menjadi tamu di sini. Rumahnya sama nyamannya seperti rumah sebelah, bahkan warna cat temboknya pun serupa. Di atas pintu depan ini digantung sebuah papan yang tertera tulisan dengan huruf arab, yang gue yakini bahwa tulisannya dibaca "Assalamu'alaikum".

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab seorang dari dalam, yang sedetik kemudian memunculkan sosok Ibu-Ibu yang masih menggunakan celemeknya.

"Mbak tumben pulangnya telat?" kata si Ibu, yang tangannya kemudian langsung disalami oleh Mbak Fatim.

"Iya, Mi. Tadi mampir dulu." jelas Mbak Fatim. "Oh iya, Mi. Kenalin, ini namanya Risa, yang pernah aku ceritain ke Umi itu." sambung Mbak Fatim. Gue mengeryitkan dahi. Cerita soal apa nih?

Gue refleks menyambut tangan Ibunya Mbak Fatim dan menciumnya. "Saya Risa, Tante." 

"Halo Risa, wah cantik ya kamu, Nak. Kayak yang diceritakan Fatim. Risa yang bantuin Mbak Fatim benerin motor itu kan?" ujar Ibunya Mbak Fatim. Sedangkan gue mengangguk malu-malu. Oalah, ternyata cerita soal kejadian malam itu.

"Risa aku ajak buka di rumah boleh ya, Mi?" jelas Mbak Fatim kemudian.

"Boleh banget. Umi malah senang Risa mau ikut buka di sini. Ya sudah, ayo masuk." ajak Ibunya Mbak Fatim sambil menarik pelan tangan gue.

---

Mbak Fatim sedang mandi di kamarnya yang berada di lantai dua saat gue di sini hanya menganggur dan duduk menunggu di ruang tengah sambil bermain ponsel. Lima menit yang lalu setelah gue diajak masuk, gue dipersilakan duduk dan menunggu di sini sedangkan Ibunya Mbak Fatim mempersiapkan makanan di dapur. Gue sudah berniat untuk membantu, tapi katanya nggak perlu dan cukup menunggu saja. Karena gue terus merasa nggak enak hanya diam menunggu di sini, akhirnya gue memberanikan diri untuk berjalan ke arah dapur menghampiri Ibunya Mbak Fatim. 

"Risa bantuin ya, Tante." ucap gue saat tiba di dapur yang berada di depan ruang tengah. Terlihat Ibunya Mbak Fatim tengah memindahkan sayur dari wajan ke mangkuk besar.

"Eh.. nggak usah, Sayang. Kamu duduk saja biar Umi yang bereskan semuanya."

"Nggak pa-pa, Tante. Risa bantuin, ya." ucap gue sambil mengambil mangkuk berisi sayur yang berada di dekat kompor dan memindahkannya ke meja makan. Setelahnya gue menata gelas-gelas dan piring yang akan digunakan. Kata Umi butuh tujuh set. Gue kaget dengan jumlahnya yang banyak itu.

Karena penasaran dengan jumlah piring yang banyak itu akhirnya gue pun bertanya. "Mbak Fatim punya adik ya, Tante?"

"Panggil Umi aja, Sayang." ucap Umi lembut. "Iya, Mbak Fatim punya tiga adik. Lagi pada keluar mau nyari jajanan tadi katanya." sambung Umi sambil tersenyum. Gue mengangguk paham. 

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang