1. Pindah

9.9K 1.1K 27
                                    

"Good morning, Renjun!" ucap gue seraya menatap layar ponsel yang gue ambil dari meja samping kasur. Kebiasaan gue kalau baru bangun tidur pasti langsung membuka ponsel dan pemandangan pertama kali yang akan gue dapatkan adalah lockscreen ponsel gue, fotonya Huang Renjun.

Gue menguap untuk ke sekian kalinya, "Gila, udah jam sembilan aja. Untungnya hari Minggu." Monolog gue sewaktu kaget melihat jam di layar ponsel, sekaligus wajah tampannya Renjun.

Semalam gue bergadang menonton drama Korea sampai pukul tiga pagi, makanya gue baru bisa bangun pukul sembilan. Sebenarnya meskipun malamnya gue nggak nonton drakor pun, biasanya gue juga telat bangun. Gue tahu ini kebiasaan buruk, tapi mau bagimana lagi? Gue kesulitan untuk mengubahnya karena ini sudah menjadi sebuah kebiasaan untuk gue.

Setelah lima belas menit bermain ponsel, gue langsung turun dari kasur dan menuju ke kamar mandi untuk cuci muka. Lalu bergegas turun ke dapur untuk sarapan.

Gue menginjakkan kaki di lantai dapur yang sepi. Iya, biasanya juga seperti ini. Rumah gue selalu sepi. Nggak akan ada suara bising saudara yang bertengkar, Mama yang mengomel karena anaknya telat bangun, apalagi Papa yang sibuk membaca koran di pagi hari. Kabar buruknya gue adalah anak tunggal dan nyokap gue sudah meninggal enam tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. Sedangkan Bokap gue alhamdulillah masih sehat walafiat sampai sekarang, tapi nggak tahu beliau kemana pagi ini. Ini weekend, nggak mungkin Papa ke kantor.

Gue tinggal di rumah ini cuma berdua sama Papa, dan gue sudah sangat terbiasa dengan suasana sepi seperti ini. Biasanya kalau weekday akan ada Budhe Sumi yang ikut bantu-bantu dan menemani gue di rumah selama Papa bekerja. Budhe Sumi selalu datang ke rumah pagi-pagi banget, setelah subuh, untuk menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan sekolah gue. Lalu nanti beliau pulangnya agak sorean, pukul lima. Tapi kalau weekend seperti ini Budhe Sumi nggak akan ke sini. Karena semua pekerjaan rumah seperti beres-beres, cuci piring, cuci baju, bahkan memasak sekalipun, akan beres di tangan gue. 

Gue baru saja bersiap mau membuka pintu kulkas untuk melihat apakah ada makanan atau enggak saat pintu depan tiba-tiba terbuka. Siapa lagi kalau bukan Papa.

"Eh, udah bangun, Sayang? Papa tadi habis jogging sekaligus beli sarapan. Kamu belum makan kan, Nak?"

Kan, benar.

"Belum, Pa." ucap gue sambil berjalan menghampiri Papa. Tangan gue meraih kantong plastik yang disodorkan oleh Papa, lalu duduk di bangku meja makan dan membuka bungkusan plastik itu. Ada nasi kuning. Asik! Gue suka banget sama nasi kuning.

"Risa..." Tagan gue baru mau menyendok sesuap nasi kuning saat panggilan dari Papa menginterupsi dan menghentikan pergerakan tangan gue. Entah kenapa hawa-hawanya langsung kurang enak. Gue pikir Papa mau berbicara hal serius.

"Iya, Pa?"

"Risa mulai minggu depan tinggal sama Kakung sama Uti di Jogja ya, Sayang?" Patah-patah Papa mengucapkan kalimat singkat itu sambil memperhatikan gue secara intens.

"Hah? Tinggal di Jogja?"

"Iya, Sayang."

"Lah, kok gitu? Emangnya kenapa, Pa? Kan Risa belum liburan semester?" Jelas gue kaget. Biasanya kita pulang ke Jogja cuma pas liburan saja, dan ini masih hari-hari sekolah.

"Bukan buat liburan Sayang, tapi kamu akan tinggal sama Kakung Uti sekaligus pindah sekolah ke Jogja. Papa merasa kamu kesepian di sini, Papa nggak bisa menemani kamu tiap hari, Papa sibuk kerja dan sering sekali lembur. Papa juga merasa gagal mendidik kamu dengan baik semenjak Mama meninggal, Sayang." Papa bicara lembut tapi jelas dan tegas.

Wah, kalau sudah seperti ini berarti benar-benar obrolan serius. Tatapan teduh sekaligus memohon dari Papa entah kenapa langsung membuat mood gue sepagi ini hancur. Gue nggak mau tinggal di Jogja, gue nggak mau tinggal sama Kakung dan Uti.

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang