3.4

285 18 2
                                    

"Kenapa bisa ada di situ sih?" Tanya Arga mulai mengintrogasi.

Vanya menatap lurus jalanan dengan tatapan tajamnya. "Ya pengen aja kali nongkrong. Emang gak boleh?"

"Gak boleh kalau bukan sama aku dan tanpa ijin aku." Jawab Arga.

Vanya menatap Arga tak percaya. "Terus kalau lo pergi sama Andin, emang lo pernah ijin sama gue? Enggak kan?" Tanya balik Vanya.

"Aku sama dia cuma bahas ekskul---

"Dan apa lo pernah, hargain gue sebagai cewek lo?" Lanjut Vanya.

Arga menepikan mobilnya di sebelah kiri jalan. "I always appreciate you."

Vanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Ohh, dalam hal apa?"

Arga menghembuskan nafasnya kasar. "Kok lo jadi gini sih?"

"Gini gimana?" Tanya Vanya balik.

"Ya jadi nentang. Biasanya lo nurut sama apa yang gue ucapin. Kenapa lo? Udah terpengaruh cowok playboy itu? Si Farel yang gak jelas." Ucap Arga membara.

Vanya menatap Arga tak percaya. Bisa-bisanya Arga menuduh Farel. "Ya karena gue udah dewasa. Gue udah bisa pilih mana yang salah, mana yang benar. Dan ini sama sekali gak ada urusannya sama Farel ya!"

"Jadi selama ini gue salah buat lo?" Tanya Arga.

Vanya menggeleng. "Gak gitu Ar--

"Ya terus lo maunya gimana sekarang?" Tanyanya tegas.

Tentu saja Vanya kaget dengan apa yang ditanyakan Arga. Vanya menghembuskan nafasnya pelan. "Putus!" Jawabnya tegas.

"Enggak! Enak aja lo. Gak. Gue gak mau!" Jawab Arga sedikit membentak.

Vanya tertawa garing. "Lo tadi nanya mau gue apa kan? Ya, gue mau putus."

"Gak boleh. Pokoknya kita gak boleh putus. Lo boleh minta apa aja, asalkan gak putus." Ucap Arga mengkoreksi ucapan sebelumnya.

Vanya menggeleng pelan. "Gue cuma mau satu Ar. Gue cuma mau putus sama lo. Kita bisa kan jadi temen kayak dulu."

Arga mendekati Vanya. Sampai Vanya tidak bisa bergerak lagi. "Lo denger gak sih apa yang baru gue omongin barusan? Hah? Gue gak mau putus sama lo. Gue gak akan pernah lepasin lo, sampai takdir yang pisah in kita."

Vanya tertawa. "Jangan bawa-bawa takdir Ar."

"Ya bawa lah, buktinya gue sama lo ketemu ya karena takdir." Sanggah Arga.

"Ya udah takdirnya, kita emang harus putus." Ucap Vanya lebih tegas.

Arga mulai menyentuh rambut Vanya. "Apa sih yang bikin lo pengen putus? Farel? Lo udah ditembak sama dia? Udah dikasih apa sama dia? Udah ngapain aja lo sama dia?"

Plak!

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kiri Arga. "Gue gak serendah itu!"

Arga semakin emosi ketika Vanya berani menamparnya. "Ya terus apa? Apa yang bikin lo pengen putus sama gue?" Bentaknya lagi.

Lagi-lagi, Vanya kembali menarik nafasnya pelan dan menghembuskannya juga perlahan karena menahan tangis. Sudah berapa kali Vanya dibentak oleh Arga, membuat Vanya ingin menangis. "Jujur ya, gue tertekan sama lo. Lo selalu ngatur gue, lo---

"Itu demi lo!"

"Buat apa?"

"Gue gak mau kehilangan lo!"

"Gak gini caranya Ar!"

"Gue sayang sama lo!"

Vanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan. "Tapi caranya gak gini! Lo nyakitin gue kalau gini Ar!"

Arga mulai menarik rambut Vanya dari belakang secara perlahan. "Lo pikir, gue tadi di cafe ngapain? Gue mau suprise lo Vanya! Gue rela, dari sekolah naik motor pulang ke rumah buat ngambil mobil. Gue mau jemput lo. Lo denger kan apa yang gue ucapin barusan di telpon?"

Vanya tersenyum tipis sambil menahan sakit. "Andin? Lo mau lupain kalau Andin ada sama lo tadi?"

Arga mulai melepaskan genggamanya di rambut Vanya. "Gue gak lupa. Gue inget banget. Andin itu bantuin gue Van!" Jelasnya pelan.

"Bantuin apa?" Tanya Vanya.

Arga mengambil goodie bag dari belakang jok nya. "Bantuin gue cari novel buat lo." Ucapnya sambil memberikan goodie bag itu pada Vanya.

Vanya menatap Arga dengan tatapan merasa bersalah. Ia mulai membukanya dan,

"DEMI APA LO DAPET BUKU INI?!" Ucap Vanya sangat histeris.

Arga tersenyum sambil mengelus pipi Vanya. "Seneng gak?" Tanyanya. Vanya mengangguk semangat. "Banget! Makasih!"

"Gak mau minta maaf nih?" Tanya Arga menyudutkan Vanya.

Vanya langsung menatap Arga. "Maaf Ar, gue bener-bener gak tau apa-apa tadi. Gue minta maaf ya, please?"

Arga menggeleng. "Gak mau. Pokoknya kalau mau di maafin, ada syaratnya."

"Apa?"

Arga tersenyum. "Jauhin Farel ya?"

Vanya menerjapkan matanya berkali-kali. "Jauhin?"

Arga mengangguk. "Iya, aku cemburu lho liat kamu sama Farel deket."

"Dia temen aku Ar, gak lebih. Jangan lebay. Yang harusnya minta syarat itu aku. Jauhin Andin ya?" Rayu Vanya.

"Aku sama dia temen juga. Partner ekskul. Ya udah jadinya gimana? Mau di maafin gak?" Tanya Arga pada topik awal.

Vanya mengangguk ragu. "Tapi, gue masih boleh temenan sama Farel kan?"

Arga mengangguk. "Boleh, tapi gak boleh ketemu."

"Maksudnya?" Tanya Vanya masih tak mengerti. Mengerti sih, tapi sulit.

"Ya gak boleh berduaan. Kalau mau ketemu dia, ajak siapa gitu." Jelasnya.

Dengan berat hati, Vanya mengangguk mengiyakan persyaratan yang di ajukan Arga.

"Okay aku maafin! Sekarang kita mau kemana? Mau makan atau kemana?" Tanya Arga bersemangat.

Vanya terlihat berfikir sekilas. "Anter beli skin care boleh?"

Arga menganggkat jari ibu tangan sebelah kirinya ke depan muka Vanya. "Meluncurrr!"

Vanya tertawa, sekilas sambil memperhatikan wajah Arga dari pinggir yang sedang tertawa juga. Tawa Vanya berubah jadi senyum sendu. Semakin lama, semakin tidak kuat ia memperhatikan wajah Arga.

Vanya mengalihkan pandangannya ke arah kaca mobil. Menahan air matanya agar tidak jatuh disini.

🍃🍃🍃

Double gak nih?

PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang