3.6

270 15 0
                                    

"Besok berangkat sekolah aku jemput."

Vanya langsung menatap Arga kaget. "Hah? Gak usah, gak apa-apa. Bisa sendiri kok." Jawab Vanya cepat.

"Aku jemput aja." Ucapnya tegas.

Vanya mengangguk pelan. "Ya udah, aku masuk dulu. Mau masuk?" Tanyanya basa-basi.

Arga menggeleng. "Masih ada urusan."

Vanya tersenyum tipis, lalu keluar dari mobil Arga. Baru saja Vanya menutup pintunya, mobil itu sudah kembali berjalan. Untung saja Vanya sudah sedikit menjauh dari mobil, jadi ia aman-aman saja.

"Siapa tuh? Gak sopan!" Ucap Gibran sedikit berteriak dari depan pintu.

Vanya memejamkan matanya sejenak, menarik nafasnya pelan. Dengan cepat Vanya berjalan menghampiri Gibran. "Udah pulang? Tumben." Jawab Vanya mengalihkan topik.

"Pulang sama siapa tuh?" Tanyanya lagi.

"Aku kira abang belum pulang, tau gitu aku minta jemput aja tadi. Gara-gara aku gak tau, jadinya ya naik taksi online." Jelas Vanya berbohong.

"Taksi?" Tanyanya yang masih tak percaya.

Vanya mengangguk. "Iya, taksi."

"Kok duduk didepan? Lama banget lagi berhentinya, terus kamu nya lama keluar." Ucap Gibran mengintrogasi.

Vanya harus berusaha tenang. "Aku duduk didepan karena dibelakangnya ada barang-barang mas nya, terus lama keluar karena gak ada kembalian, jadi karena terlalu lama akhirnya aku gak jadi minta kembalian, buat mas nya aja." Jelas Vanya dengan lantang.

Gibran menatap Vanya dengan sangat tajam. "Ya udah masuk, mandi. Terus kita makan." Perintahnya.

Vanya mengangguk lalu berlalu dari depan Gibran. Berlari kecil menuju kamarnya, menutup pintu kamarnya, menyimpan tas nya dan duduk di tepi kasur. "Berdosa banget gue bohong sama bang Gib. Marah banget pasti. Iyalah marah, orang panggilan aja udah berubah jadi kamu." Ucap Vanya merasa bersalah.

"JANGAN NGELAMUN MULU! BURUAN TURUN, MAKAN. GUE LAPAR!"

Teriakan Gibran dari lantai bawah menggema di seluruh penjuru rumah yang sepi. Seolah komando, Vanya langsung berdiri mengambil handuknya, lalu bergegas mandi.

🍃🍃🍃

"Mau kemana? Wangi banget perasaan." Ucap Vanya saat melihat Gibran berpakaian rapi dan wangi.

"Mau main sama temen smp. Gak apa-apa kan gue tinggal?" Tanyanya pada Vanya.

Vanya mengangguk. "Gak apa-apa kok, santai."

"Kalau mau ikut juga ayo, siap-siap gih." Ucapnya lagi.

Vanya membelakakan matanya. "Gue ikut? Monmaap, temen-temen lu cowok semua, terus gue cewek sendiri. Iya sih, gue adek lo dimata temen lu. Gue dimata pengunjung lain apaan? Ogah gue."

Gibran terkekeh. "Ya siapa tau mau ikut."

Vanya mengedikkan bahunya. "Eh, lo kan mau main? Pasti makan dong? Terus kenapa makan disini?" Tanya Vanya heran.

Gibran meneguk air yang ada di gelasnya sampai habis. "Biar lo makan. Lo suka ngebiarin badan lo kelaparan tau gak? Lo pikir gue gak tau?" Tanyanya balik.

Vanya terkekeh. Lalu menatap Gibran dengan senyum tulusnya. "Makasih ya bang, maaf gue selalu ngerepotin lo."

Gibran mengangguk. "Apa sih? Aneh banget tau. Denger nih, lo satu-satunya adik gue. Cewek. Terus lo tau gak? Waktu mama hamil lo, gue tiap jam berdoa biar bayi itu cewek. Terus pas mama usg, dan ternyata cewek, gue jadi rajin parah. Gue jadi rangking terus disekolah, pokoknya gue jadi berubah deh. Karena gue mau jadi abang yang baik.

Dan ternyata semakin kita beranjak dewasa, semakin susah juga buat gue jagain lo. Jujur, setiap lo sedih, gue ngerasa gue adalah orang yang paling gagal dan paling gak bisa jagain lo."

Pipi Vanya basah oleh air mata yang turun deras dari kedua matanya. Vanya langsung memeluk Gibran, dan terisak disana.

"Cukup. You are the best brother in my heart. Baik banget. Gue sampai berfikir kalau gue bukan adik kandung lo. Karena lo baik banget sama gue." Ucap Vanya disela tangisnya.

Gibran mengelus rambut Vanya lembut. "Dih apaan sih? Kok pikirannya aneh-aneh. Lo tuh jelas-jelas adik gue. Adik perempuan satu-satu nya gue. Gue jadi saksi dari lo lahir, sampai lo tumbuh 17 tahun ini."

"Iya deh yang bisa liat gue emesh pas kecil." Ucap Vanya terkekeh.

"Jadi ini trik biar gue gak pergi? Gue mau berangkat lho." Ucap Gibran menyindir karena pelukan Vanya yang belum lepas.

Vanya melepaskan pelukannya. "Iya iya maaf. Ya udah sama berangkat, gue aja yang beresin."

"Bener?"

"Iyaaa."

Gibran megambil kunci motornya dan memakai jaketnya. "Berarti gue harus puji lo tiap hari ya? Biar baik sama gue."

Vanya melototkan matanya. "Ya udah berangkat ya? Kalau ada apa-apa, langsung telepon. Cctv rumah tersambung di hp gue kok, selalu."

"Okay!"

Baru Gibran membuka pintu utama, sebuah motor sport berhenti didepan pagar. Ia turun menghampiri Gibran dan Vanya. "Farel?" Ucap Vanya spontan.

"Hei! Mau apa Rel? Mau ajak Vanya jalan? Boleh banget kok, ayo Van siap-siap." Ucap Gibran tiba-tiba.

Vanya langsung memukul lengan Gibran. "Berisik lo. Ada apa Rel?" Tanyanya pada Farel.

"Mau ngobrol aja sih, boleh bang?" Tanyanya pada Gibran.

Gibran mengangguk. "Ngobrol doang?"

Farel mengangguk. "Boleh, tapi gue mau keluar. Terus bi Ratih lagi gak enak badan, jadi dia stay di kamarnya."

"Gak masuk ke dalam kok bang, disini aja diluar." Ucap Farel yang mengerti ucapan Gibran.

Gibran mengangguk-anggukan kepalanya. "Okay kalau gitu, gue pergi dulu. Inget ya, cctv." Ucapnya sambil menganggkat handphone nya ke atas.

Setelah Gibran pergi, Vanya mulai bertanya pada Farel maksud dan tujuan ia datang kesini secara detail. "Rel, mau ngobrol apa?" Tanya Vanya langsung.

"Lo gak apa-apa? Gue khawatir, soalnya gue telepon, handphone lo gak aktif." Ucapnya dengan penuh rasa gelisah.

🍃🍃🍃

Maaf yaaa
Baru upload lagi setelah tiga bulan hiatus entah kemana diriku iniiii

Oh iya, kalau ada typo maapin(

PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang