2. Dua potek berdua

8 0 0
                                    

Hai.

Selama membaca ^^

Malam harinya.

Hari ini, Zahid mengakhiri satu harinya dengan satu pertanyaan yang belum juga tersingkirkan sejak pulang sekolah. Ini sudah pukul 12 malam, iya semestinya sudah harus tidur namun, dirinya masih gencar mencari jawaban yang sebetulnya hanya dirinyalah yang tau jawaban itu.  Punya bakat di seni?

Di depannya sekarang sudah terbentang 5 kertas hasil sketsa tangannya dan 5 lagi hasil jepretan yang dia ambil sewaktu pertama kali menginjak Jakarta tepatnya di Blok M. 

Bakat seni, bakat seni, bakat seni.

"Tapi gue gambar karena gabut."

"Gambar kayak gini semua orang juga bisa."

"Kenapa jadi sepusing ini ya?? "

Ditelentangkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamar, lagi-lagi penekanan dan luka-luka yang berusaha ia tutupi berseliweran hidup di atas sana.

Tentang ambisi papa menyerahkan mimpinya yang pupus kepada Zahid, tentang paksaan papa bahwa Zahid harus terjun ke dunia seni, tujuan keluarga mereka menetap di Jakarta hanya demi ini. Zahid yang keras sebenarnya dalam keheningan ini mencair, ada amarah yang bergejolak tapi tidak bisa ia tunjukan sebab; nggak enak. Baginya bahagia papa adalah kepuasan hidupnya namun untuk yang satu ini, tidak ada kepuasan.

Zahid sempat menentang ia ingin terus setia di Jogja sampai bisa bergandengan dengan UGM, cinta pertamanya adalah UGM. Pemandangan indah baginya adalah saat melihat para mahasiswa mengenakan almameter coklat di jalan saat ia pulang sekolah, ia suka bagaimana melihat para mahasiswa sana saling berduskusi melingkar di suatu tempat, kecerdasan mahasiswa sana yang menciptakan atmosfer belajar Zahid semakin tinggi, tekadnya yang sudah bulat itu terpaksa bergaris tanpa ujung lagi sebab Papa.  papa menentang keras impiannya sendiri. Sampai sekarang ia belum tahu apa maksud papa merangkai takdir hidupnya sendiri. Yang jelas, seni bukan tujuan murni Zahid.

Papa memaksa. Papa sengaja menatap terus ke depan dengan pilihan matangnya tanpa menoleh ke belakang, ada Zahid yang terkapar tidak setuju akan itu.

Namun sekarang, perkataan cewek tadi seolah memberi sercercah cahaya dari balik gelapnya. Punya bakat di seni? Sekali lagi Zahid bertanya.

"Cuma malas pelajari hal baru." Zahid menekan sepotong ucapan cewek tadi.

"Za, kamu sudah tidur kah?"

Zahid menoleh ke ambang pintu. "Belum, Ma."

Pintu pun terbuka menampilkan sosok mama dengan beberapa bawaan. Paperbag coklat entah apa di dalamnya dan satu cangkir coklat panas favorit Zahid.

Yang pertama mama lihat adalah jejeran kertas di kasurnya, ada senyum singkat.

"Udah mulai menggambar lagi?"

Buru-buru Zahid menyingkirkan gambar-gambar itu sebelum sebelum pertanyaan berangsur jauh.

"Papa udah pulang?"

"Katanya belum bisa pulang hari ini. Papa minta maaf belum bisa nemenin kamu, tapi ini... " barang dari paperbag dikeluarkan mama, ada satu camera canon jenis Asx, tripod, dan satu laptop. "Titipan papa."

Zahid hanya melihatnya sejenak tanpa ada secuil perasaan bahagia, seolah ini tidak bernilai apa-apa baginya.

Ngomong-ngomong papa nya adalah seorang guru sekaligus sekarang menjabat sebagai dosen di universitas swasta. Kesibukannya kadang kalau lagi padat tidak bisa pulang.

Tapi ya gitu, mama bilang ini demi Zahid. Demi masa depan Zahid.  Padahal Zahid selalu memohon agar tidak perlu diporsil. Tetapi kembali lagi ke seni, seni seni dan seni.

End Mission (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang