16. Mahkluk serakah

1 0 0
                                    

Selamat membaca ^^








Malam ini Geo berada di halaman rumah bersama Papah yang sejak tadi sibuk ngurusin tanamannya. Papah itu jarang sekali di rumah, sekalinya di rumah yang langsung ditengok  bukan keluarga, melainkan tanaman.

"Pohon Papah ada yang mati nggak?"

"Pohon cabe Papah udah tumbuh belum?"

Itulah pertanyaan yang tiap kali Papah lontarkan ketika pulang dari kerjanya. Kadang Geo jadi ngerasa bukan anaknya, kadang Geo juga suka cemburu kalau Papah lebih suka mengurusi tanamannya, bahkan rela ngeluarin uang banyak demi tanaman itu terawat baik.

Geo juga kan butuh perawatan, masa tanaman terus sih yang diperhatikan? Yang anak Papah tuh sebetulnya siapa sih?

Meski begitu, Papah tetap memprioritaskan keluarga kok. Geo hanya berlebihan dalam menanggapi ini, hmm.

"Pah?" panggil Geo sambil melipat laptopnya karena sudah selesai dipakai.

Papah yang lagi menyemprot sebuah cairan ke pohon cabenya menoleh. "Jangan bilang minta beli skincare lagi?" tanya Papah sudah ketakutan.

Geo berdecak sebal. "Ishh, Geo mau tanya tau."

Papah meletakkan penyemprot itu, lalu duduk di samping Geo.

Suasana malam yang yang tenang ini sangat mendukung waktu untuk mengobrol.

"Tanya apa?"

"Papah ... pernah dipermalukan nggak?"

"Pernah."

"Karena apa?"

Papah menyenderkan kepalanya pada dinding. Lalu memandang langit malam yang sepi tiada bintang.

"Waktu jaman SMA pernah sih, dulu Papah  nyatain cinta sama anak perempuan sekelas Papah di kantin. Niatnya supaya orang lain liat dan biar jadi kejutan juga buat si perempuan itu, namun jawaban tidak sesuai ekspektasi. Perempuan itu malah mempermalukan Papah, dan parahnya dia membanding-bandingkan Papah secara terang-terangan sama senior yang lebih cakep dari Papah," cerita Papah panjang.

"Itu udah belasan tahun, tapi kalau diinget rasa malunya masih ada sampai sekarang," lanjut Papah dengan ekspresi kosong. Tergambar jelas betapa malunya Papah.

Apa Zahid juga merasakan yang sama seperti Papah?

Tunggu, kenapa kisahnya hampir mirip sama kejadian tadi pagi?

"Kenapa?" tanya Papah membuyarkan lamunan Geo.

Geo menggeleng. "Oh, gapapa."

Papah manggut-manggut. "Ngomong-ngomong, gimana misi kamu sama Zahid?" tanya Papah tiba-tiba.

Geo tentu tersentak mendengar pertanyaan itu. Misi? Kok Papah bisa tahu? Bahkan menceritakan Geo bersahabat dengan Zahid saja, Geo juga belum bercerita.

"Kok Papah tau??"

"Temanmu belum lama minta izin sama Papah."

"Zahid maksud Papah?"

"Iya."

Ya ampun Zahid, kenapa tidak memberitahunya. Geo jadi bayangkan gimana cara Zahid minta izin sama Papah. Pasti lucu.

"Terus gimana??"

"Gimana apanya?"

"Papah kasih izin nggak?" Deg-deg, jantung Geo berdetak mewanti jawaban Papah.

Papah mengangguk tanpa ragu. "Tentu dong, selagi kalian mengerjakan hal positif kenapa meski Papah larang? Lagi pun, ini yang Papah harapkan Geo. Kamu bisa berteman dengan orang yang beri dampak positif bagi kamu supaya rajin belajar."

Mata Geo berbinar. "Serius Pah??"

"Serius."

"Tapi Zahid kan cowok Pah??"

"Dia sudah berjanji di hadapan Papah kemarin," ucap Papah terkekeh. "lucu deh teman kamu."

Apa katanya? Lucu?

Tolong putar kembali waktu, Geo ingin melihat kembali obrolan Papah dengan Zahid.

"Jadi Papah bener kasih izin?" tanya Geo kesekian kalinya.

"Iya, asal kalian jangan berlebihan," peringat Papah.

Geo mengambil tangan kanan Papah, menyalaminya berkali-kali. "Papah makasih lho."

Dalam hidup, ini pertama kalinya Papah memberi Geo izin dengan mudah untuk berteman dengan laki-laki. Zahid pakai mantra apa ya? Kok Papah semudah ini dijinakkan.

"Iya-iya, udah sana tidur."

Geo bangkit sambil menenteng laptopnya untuk ke kamar. Papah pun kembali ke kegiatannya semula, menyemprot ramuan pada tanamannya agar sehat sentosa.

"Pah?" panggil Geo lagi.

"Sama-sama," jawab Papah tanpa menoleh.

"Ishhh ngeselin!"

💫💫💫




"Kejebak friendzone nggak enak ya."

"Iya, deket dikit sama orang langsung salah paham."

"Saking salah pahamnya, anak orang sampe celaka."

"Gitu tuh kalo udah bucin."

"Cemburunya kelewatan."

Zahid terus melangkah lurus, tidak peduli terhadap gerombolan orang yang tengah menyindirnya secara terang-terangan.

Dari kejadian kemarin, banyak yang mengira bahwa Zahid cemburu sehingga melukai cowok yang sama Geo.

Ya sudahlah, mau diapakan lagi?

Sementara dari kejauhan, Geo hanya terdiam menyalahkan kebodohannya sendiri.

"Sahabat macam apa gue..."

💫💫💫

"Zahid," panggil Geo akhirnya menemukan Zahid setelah lama berkeliling di gedung Horikoshi.

Geo ikut berjongkok di samping Zahid yang sedang memberi makan pada seekor kucing belang tiga. Terlihat kucing itu pincang, satu kaki kirinya tiada.

Ngomong-ngomong ini sedang jam istirahat. Mereka berada di luar kawasan Horikoshi, tepatnya di sebuah taman kecil yang bersebelahan dengan Horikoshi.

"Manusia itu makhluk paling serakah ya Ge?"

Eh.

Geo menengok pada Zahid, sepertinya ia sayang sekali dengan kucing ini. Tangannya tiada henti mengelus-elus kepala kucingnya.

"Yang kirim ikan le laut kalau bukan Tuhan siapa? Ikan itu 'kan buat dinikmati semua mahluk hidup. Kenapa manusia serakah cuman mau nikmati sendiri?" Zahid berhenti mengelus, menatap Geo sebentar. Lalu beralih ke kegiatan semula. "Padahal kucing ini cuman minta separuh aja, tapi manusia dengan teganya menyiksa kaki mungil ini." Zahid memegang kaki kucing itu.

"Kok lo bisa tau Za?"

"Gue yang selamatin dia kemarin."

Geo merasa bersyukur bisa bersahabat dengan malaikat kecil ini.

"Anehnya ni kucing tetap datang ke rumah makan itu Ge, kalau gue mungkin udah nggak sudi," ujar Zahid.

"Enaknya ya jadi hewan, nggak punya hati. Jadi nggak bisa sakit hati."

Oke, sekarang Geo mengerti arah perkataan Zahid.

"Kata maaf gue mungkin nggak berarti ya?" lirih Geo.

"Kata siapa?"

"Ya ... nebak aja sih."

"Oh."

"Za? Gue minta maaf..." lontar Geo sendu.

"Besok Kak Ardy ngajak kita liburan. Ikut ya Ge?"






Terima kasih sudah baca ^^

Sampai ketemu di part berikutnya (◍•ᴗ•◍)

End Mission (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang