39. Langkah Awal

0 0 0
                                    

Happy reading (◍•ᴗ•◍)

Zahid sungguh membuktikan ucapannya. Selama satu bulan ini Zahid yang mengatur kegiatan Geo selama dua puluh empat jam. Dari mulai waktu belajar, waktu istirahat, bahkan pola makan Geo juga Zahid yang mengaturnya.

Risih? Jengah? Pasti ada, namun Geo menepis jauh-jauh rasa itu. Selagi ini bisa membantunya keluar dari zona nyaman kenapa tidak? Selagi ini membuatnya jauh lebih baik, ya nggak apa-apa dong? Toh lagi pun nanti Zahid akan merasakan hal yang sama kok seperti Geo sekarang.

"Za gue nggak akan abis segini banyaknya." Jelas saja Geo sangat terkejut mendapati banyaknya sayuran, salad buah, dan beberapa minuman kotak dengan rasa macam-macam buah memenuhi meja bundar itu.

Ini Zahid borong apa gimana?

"Nanti kan bisa bawa pulang," kata Zahid sambil menumpuk beberapa buku pelajaran. Ngomong-ngomong Zahid juga masih ketus sama Geo setelah kejadian memalukan tadi di koridor.


Enam jam sebelumnya.

Geo berlarian menyusul Zahid dengan suara cemprengnya yang menggema di koridor. Ini  demi handphone kesayangannya.

"Zahid sebentar aja."

"Zahid mah."

Terbersit satu ide konyol agar Zahid mau berhenti.

"Ayah balikin hp bunda!"

Semua manusia yang berada di koridor dalam sekejap jadi patung. Begitupun langkah Zahid yang seketika kaku sulit melangkah. Detik berikutnya, tawaan geli dari mereka menghambur.

"Ayah?"

"Bunda?"

"Serius itu pacaran manggilnya kayak orang baru nikah?"

"Kayaknya mereka emang udah nikah deh."

"Aaaa kenapa saya menemukan orang alay di sini?"

"Ayah nanti kita mandi bareng ya?"

Zahid berbalik badan, langsung menyeret Geo secepat kilat. "Malu-maluin!" Mengabaikan mereka yang masih belum puas menggodanya.

Cukup, Zahid tidak mau mengingatnya!

Setelah di rasa sudah beres, Zahid menghampiri Geo, memindahkan jenis konsumsi buah itu ke keranjang lalu diganti dengan buku dan alat tulis. Menandakan jam belajar segera berlangsung.

Oh iya, mereka belajar sehabis Maghrib di kamar Zahid dengan pintu terbuka lebar. Supaya nggak ada pikiran macam-macam. Di luar juga ada Papah dan Jessie  lagi bikin donat.

"Sebelum belajar lo harus tau cara belajar versi lo gimana," ujar Zahid sebagai permulaan.

Geo meletakkan bekas bungkus saladnya. Mulai mendengarkan baik-baik.

"Gue saranin pake teknik promodoro." Rasanya terdengar asing di telinga Geo.

"Teknik promodoro?" Geo mengernyitkan dahi.

"Teknik promodoro, tiga puluh menit fokus belajar. Lima menit istirahat, setelah itu ulangi materinya empat kali," jelas Zahid.

Geo memajukan posisi duduknya, masih belum paham. "Gimana sih Za? Nggak mudeng nih."

"Gini, pertama lo buka dulu apa materi yang mau dipelajari. Setelah itu lo harus fokus belajar selama tiga puluh menit, nanti setelah tiga puluh menit selesai lo istirahat otak dulu sepuluh menit. Setelah itu lo ulangi materi yang tadi lo pelajari sampai empat kali. Cara ini efektif, dijamin nyangkut di otak," jelas Zahid lebih lengkap.

Geo manggut-manggut mulai memahami.

"Mau coba ya?" tawar Zahid.

"Boleh."

Zahid mengambil satu buku paket bahasa Indonesia. "Lo pelajaran bab tiga, teks anekdot. Metodenya yang gue jelasin tadi. Paham?"

Geo mengangguk, lalu membuka buku itu, memulai belajarnya. Membacanya pelan-pelan, percobaan pertama  gagal. Geo menggeleng, karena belum juga nyangkut di otak.

Tak berhenti di situ, Geo mempelajarinya lagi begitu menghayati. Mulutnya komat-kamit saat menghafal, lalu mengangguk-angguk kecil saat sudah memahaminya. Sambil sesekali merem melek menerawang ke langit-langit kamar, entah apa maksudnya.

Hal itu mengundang tawa Zahid yang juga lagi belajar. Zahid mendekati Geo, mengelus rambutnya pelan. "Geovani pasti bisa!"

💨💨💨

3 hari kemudian


Geo menyender di kursi kelasnya sambil mengemil keripik kaca pedas kesukaannya. Juga satu tangan kirinya yang iseng menscroll aplikasi Instagram melihat gedung foto-foto universitas favoritnya. Tohoku university of Japan. Sesekali dirinya terbayang ketika berhasil menuntut ilmu di negeri sakura itu. Pasti akan sangat menyenangkan.

"Geovani?"

Geo mendongak mendapati Zriel berada di depannya dengan tangan kiri menahan lembaran kertas-kertas.

"Nilai Bahasa Indonesia kemaren," katanya memberi satu lembaran hasil ulangan Bahasa Indonesia Geo. Lalu kembali membagi-bagikan ke yang lain.

Setelah melihat nilai yang tertulis tebal dengan tinta  merah, wajah Geo mendadak pucat. Geo meremas kuat-kuat hasil nilai buruknya itu, lalu berlari ke luar kelas dengan napas berderu.

Zahid yang baru tiba membawa satu mangkuk bakso, jadi dibuat bingung, lantas mengejar Geo meletakkan mangkok baksonya di sembarang tempat.

Ada yang nggak beres.

💨💨💨


Pluk

Bulatan kertas itu menggelinding hingga mengenai ujung sepatu Zahid. Zahid membungkuk mengambil kertas itu, lalu membukanya. Asal tinta merah tebal bertuliskan nilai tiga puluh atas nama Geovani Adesya.

Zahid langsung mengedarkan pandangannya, matanya menangkap keberadaan Geo lagi duduk hampa di bawah pohon besar belakang sekolah.

"Masih ada waktu buat memperbaiki, udah jangan sedih." Zahid tahu penyebab gadis ini menjadi murung.

Geo menatap Zahid dengan pandangan kosong. "Mimpi gue ketinggian, ya, Za?"

Zahid menggeleng. "Gimana mau sukses? Gimana mau berhasil, kalo baru dikasih satu kegagalan aja udah nyerah. Orang sukses itu harus punya mental yang kuat Ge." Sebijak apa kata yang Zahid lontarkan. Tetap saja nggak ngaruh bagi Geo.

"Pelajaran Bahasa Indonesia yang gampang aja, gue tetep dapet nilai jelek."

"Otak pas-pasan kayak gue, nggak pantes ya, punya impian tinggi kuliah di Jepang?"

Geo tertunduk lesuh, entah, semangatnya jadi runtuh saat melihat nilai buruk hasil usahanya itu. Biasanya Geo paling masa bodo soal nilai. Tapi sekarang, semenjak tiga hari belajar sama Zahid, ambisinya untuk menuntut ilmu di Jepang kembali bangkit.

”Hei Geo, ini hanya langkah pertama. Ada ribuan langkah lagi yang perlu kamu lewati. Jika kamu sanggup melewati jalanan penuh gerigi tajam dengan ujung yang membanggakan. Jepang akan menyambutmu.”

Kira-kira begitulah suara isi hati Zahid, Zahid akan menyampaikannya nanti setelah keadaan Geo sudah membaik. Zahid merangkul Geo, mengajaknya mencari ketenangan.








Sebetulnya misi ini, misi yang pengin banget aku jalani sama seseorang. Tapi ya gitu, gak kesampaian ^^

Dih kok jadi curhat...

Sampai ketemu bab berikutnya ^^

Kritik dan sarannya jangan lupa ya. ;)

End Mission (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang