New York City

3K 260 29
                                    

"Tuan Jean Wilson, anda tahu kenapa kita di sini?"

Donita Imperio, CEO kami, wanita 60-an itu masih menatapku dengan mata menembus jantung. Aku sudah siap untuk segala kemungkinan. Mungkin pengajuan cutiku dia tolak atau entahlah. Tak semudah itu meninggalkan pekerjaan sebagai bagian manajemen puncak.

"Anda wakil COO di firma hubungan masyarakat nomor tiga di seluruh dunia, Tuan Wilson. Anda sadar?"

Iya, aku sangat sadar posisiku di Bestie Comrade and Wolfe, korporasi multinasional yang menghubungkan berbagai bisnis di seluruh dunia. BCW Global mempekerjakan 4000 ribu karyawan profesional di 42 negara. Dan aku salah satu dari wakil manajemen puncak. Posisiku bisa dibilang cukup tinggi. Aku orang nomor dua di seluruh dunia di kinerja operasional. Sekaligus top management termuda perusahaan itu.

Sangat masuk akal jika cutiku mereka tolak.

"Saya tahu anda butuh cuti, Tuan Wilson. Dan saya juga tahu masalah anda semakin parah belakangan ini." Dia tunjukan laporan medisku dari Megan. "Kurangi minum obat penenang." CEO sosodorkan pula dokumen lain yang lebih tebal. "Bisa bahasa Indonesia?"

Aku menggeleng pelan. Pertanyaan itu terkesan aneh. Sekaligus merasa malu karena tak bisa bahasa ibu. 24 tahun terlalu lama. Aku bahkan baru ingat bahwa aku tidak lahir di Amerika.

"Anda tak bisa cuti selama itu. Tapi ada jalan lain." Dia lirik dokumen tadi.

Bibirku kontan menyudut. Dokumen itu adalah ringkasan proyek baru partner kami, yang nilainya milyaran dollar. Kebetulan lokasinya di Indonesia. Masa kerjanya enam bulan, dan dua bulan pertama sebagai persiapan. CEO ikut tersenyum saat aku mengangguk senang.

"Kemasi barang-barang anda. Gunakan dua bulan pertama untuk liburan."

CEO ayunkan tangan dengan anggunnya. Gayanya tegas. Tak suka buang waktu dengan perdebatan. Tapi belum sempat aku pergi, wanita itu menegur lagi.

"Belajar Bahasa Indonesia. Anggap itu syarat liburan dari saya."

***

Senyumku melebar kala kakiku melangkah keluar. Kutatap nanar gedung pipih di jantung Manhattan, tempatku bekerja 10 tahun ini. Rasanya lega. Ada bagian dari diriku yang tidak sabar membeli tiket.

"Bagaimana? Dapat cuti?"

Aku mengangguk saat Megan menegurku dari belakang. Seperti biasa, dia lirik mobil kuning di tempat parkir, memintaku mengikutinya.

"Aku capek menuruti maumu. Ayo tidur lebih awal."

Kubukakan pintu untuknya dan membantunya membuka mantel. Saljunya berhamburan. Wanita itu menyalakan penghangat setelah mengusap telapak tangan.

"Jadi, kamu ditugaskan ke sana?"

Kuserahkan berkas-berkas dari CEO. Megan terlihat puas. Lebih tepatnya tersenyum puas akan hasil kerjanya sendiri.

"Sudah punya tujuan di Indonesia?"

Aku tak menjawab saat dia meracik obat. Kuserahkan dokumen kedua tanpa dengan mata fokus menyetir.

"Tujuanmu pribadi, Tuan Work-A-Holy-Crap. Kamu sedang cuti. Bisakah sehari saja bersikap santai?"

Matanya mulai terpicing karena aku masih juga pura-pura tuli. Wanita itu tajam. Megan paham bahwa aku memang tak punya jawaban apapun.

"Serius Danny? Jangan bilang kamu sudah lupa tempat lahirmu sendiri."

Anggukkanku hampir tak terlihat. Tapi Megan nampak syok. Sekretaris itu makin melotot saat aku tersenyum malu.

"Astaga Danny, kamu ngotot ingin pulang ke Indonesia, tapi kamu tak tahu harus kemana?"

***

Di sepanjang perjalanan, Megan marah-marah. Dia kritik habis-habisan keinginanku ke Indonesia yang hanya karena dorongan hati. Aku sama sekali belum tahu harus kemana setelah tiba di negara itu. Tempat lahirku saja sudah lupa. Megan menghela panjang seakan bicara dengan autis.

"Kamu memintaku melobi sana-sini hanya demi omong kosong ini? Jeez!" Dia nampak frustasi. Pasti sudah kesal menurutiku yang makin lama makin tak jelas. "Terserahlah, ada tugas bodoh lain?"

"Bantu aku merayu Catherine."

Klak!

Kudengar plastik pecah di bangku sebelah. Kudengar pula suara obat berjatuhan dari tangannya. Megan semakin syok. Tugas itu lebih bodoh untuk bisa dia kerjakan.

"Kamu belum bilang dia?"

Sekali lagi, aku mengangguk malu. Megan semakin kesal saat merespon anggukan itu.

"Danny, sampai kapan kamu memanjakannya? Gadis itu terlalu posesif. Kemarin saja, waktu kita ke Kuwait, dia merengek berhari-hari. Dan kamu belum bilang rencanamu ke Indonesia?"

Perjalanan jadi tak nyaman. Selain kepada ibuku, Megan juga serius memandang Catherine, saudara perempuanku yang dia anggap agak menyimpang. Semua karena aku terlalu lama memanjakannya. Psikiater itu semakin kesal karena aku masih terdiam.

"Kamu tak pernah pacaran karena saudarimu yang brother complex itu. Bisakah sekali saja menolak? Usiamu sudah 32, Danny. Kamu tak capek dia kontrol terus-terusan?"

Aku semakin malu mendengarnya. Cara mengemudiku jadi hati-hati saat nadanya semakin berat. Mungkin lebih berat dari timbunan salju New York. Sekarang sudah mencapai belasan inchi. Musim dingin kali ini lebih ramah dari mulut Megan.

"Danny, dengarkan aku. Kamu pria tampan berdompet tebal. 200 ribu dolar pertahun itu bukan lelucon. Belum lagi penghasilanmu sebagai konsultan lepas. Penghasilanmu dari saham, obligasi, deposito, property, aku sampai capek menyebutnya."

Megan makin cerewet saat tangannya memungut obat. Semuanya obat penenang. Sebagian lagi obat tidur. Dia masih bicara dengan nada makin sarkastik.

"Kita saja tak berani pacaran karena Catherine cemburuan. Jeez, kalian berdua cacat mental."

Mobil memasuki gedung parkir di sebuah Kota dengan tarif parkir paling mahal di seluruh dunia. Tepat di sebelah kondo tempatku tinggal. President suit, lebih mewah dari hotel berbintang. Di kondo itulah aku sekamar bersama Megan.

"Tak ada tugas bodoh lagi, bukan? Ayo mandi."

Aku menggeleng pelan saat Megan melepas pakaian. Si feminist itu pergi begitu saja setelah menghidupkan pemanas ruangan. Sedangkan aku masih sibuk di lembaran berkas. Seakan-akan hari esok tak pernah ada. Tahu-tahu Megan sudah mandi, mengeringkan rambut di sebelahku.

"Kamu sedang cuti, Danny. Belajarlah menikmati liburan."

Wanita menghampiriku dengan hanya memakai handuk. Dia raih dokumenku dan memberi tatapan kesal.

"Masukan kata ini ke kamusmu, Tuan Wilson. L-I-B-U-R-A-N."

Ingin kuraih dokumen itu dari tangannya. Tapi Megan justru beranjak dan merebah di atas ranjang. Aku paham yang dia mau saat handuknya dia tanggalkan.

"Mau liburan bersamaku?"

"Kenapa tidak?"

"Jeez, untuk ini saja kamu berhenti jadi pendiam."

Kami memang elegan di luaran. Aku dan Megan hanya partner kerja. Tapi di dalam kamar, perangai kami berubah total. Hobi kecil ini tak pernah bosan kami lakikan. Tapi baru sempat pemanasan, seseorang seenaknya masuk ruangan.

"Kalian serius melakukan itu di depanku?" teriak seorang gadis 23 tahun.

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang