Makin Agresif

601 64 0
                                    

Mulyani masih komplain karena berubahnya kebiasaan kami. Mungkin dia sadar selama ini aku menghindar. Bukan karena tak suka, tapi ini bukan Amerika. Mulyani bisa menuntutku walau kami sama-sama mau melakukannya.

Terlebih, dia masih perawan.

“Kamu juga tak mau diajak bergadang. Bosan ya ngobrol denganku?”

“Banyak kerja. You know? Di New York siang.”

"Kamu gak kelihatan sibuk di kamar. Biasanya, kamu yang antusias ngajak ngobrol sampai malam. Kamu juga sering rangkul-rangkul aku. Kok sekarang sudah gak mau?"

Bagaimana aku menjawabnya?

Kebiasaanku merayu perempuan pada akhirnya jadi dilema.

"Nanti malam, okay?"

Wanita itu makin cemberut. “Ya sudah deh. Sana, panggil anakmu dulu.” Dia lirik sosok Denise di ruang tamu.

Sejak sore, gadis sembilan tahun itu masih sibuk di depan laptop. Seperti biasa dia ngobrol bersama Michael. Dan seperti biasa pula, Denise meronta-ronta saat aku menggendongnya.

“Sebentar, Daddy!”

“Waktunya makan malam. Stop playing around!”

“Masih ngobrol sama Grandpa! Lima menit! Gimme five minutes!”

Gadis itu kembali ke laptop hanya demi berpamitan. Denise sangat pintar mencuri hati keluargaku. Paling sering bersama Catherine. Kadang bersama Megan. Kadang pula bersama Michael yang dia panggil sebagai Grandpa.

“Give her a freedom, Danny. Be a good dad.”

Di layar laptop, Si Grandpa jadi pahlawan. Pria itu makin lengket kepada Denise dan menganggap gadis itu cucunya sendiri. Maklum lah, ayahku sudah 72 tahun.  Michael sampai bertanya apakah aku bersedia mengadopsinya.

Ayahku sudah gila.

“Apa Denise boleh kubawa?” Dan aku juga gila menurutinya.

“Kalau sekali-sekali boleh. Cita-citanya ingin ke luar negeri. Nanti saja kalau liburan. Asalkan ajak aku juga. Jangan cuma ajak Mbak Prah.”

“Memangnya kenapa?”

Mulyani melirik ketus. Bibir bawahnya maju saat tangannya membereskan meja makan.

“Mbak Prah dari dulu paling genit sama kamu. Masa lupa? Dia dulu suka cium kamu. Dan sering memelukmu ke dadanya yang gak aturan itu. Bahaya kalau kalian dibiarkan berduaan.”

Dilihat darimana pun aku dan Winda hanya bercanda. Aku sangat tahu karakternya. Winda hanya tertarik pada reaksiku saat digoda. Tidak lebih. Winda sadar bahwa aku adiknya sendiri.

“Iya, aku tahu Mbak Prah tak sejauh itu.” Mulyani membalasnya. Memintaku membantunya bersih-bersih bekas kami makan malam. “Ingat, aku yang gantikan Denise mengajarimu Bahasa Indonesia. Mbak Prah juga memintaku mengajarimu. Jangan sering-sering Bahasa Inggris.”

“Will you whip my *ss like she did?”

Mulyani mencubitku. Dia cubit pula lengan Denise, setelah tahu gadis itu paling gemar memukul pantatku pakai penggaris.

“Pantat Daddy-mu punya Bu Lik!”

***

Hari minggu yang cerah, Mulyani tak ke sekolah. Sedangkan Denise main di luar bersama kakaknya seperti biasa. Aku hanya berdua bersama bibinya. Kami berurusan lagi dengan pekerjaan rumah yang hanya sempat kami kerjakan di hari libur.

"Taruh sini ya? Tolong isiin air. Nanti aku yang cuci."

Kupilah baju-baju kotor saat Mulyani sedang mandi. Sekaligus menyiapkan bak-bak untuk mencuci ala manual. Cuci baju saja ala kucek pakai tangan. Semuanya Mulyani kerjakan. Selain memasak, bajuku pun Mulyani cuci. Sebuah konsep 'wanita tradisional' yang mulai punah di Amerika. Apalagi di Kota New York. Perempuan merasa jadi pembantu andai mereka lakukan itu.

"Kok lama sekali mandinya?"

"Luluran," balasnya santai.

Wanita itu langsung duduk dengan hanya memakai handuk. Jemari imutnya mulai sibuk mengucek baju, kadang memerasnya secara manual. Mengingatkanku akan masa kecil kami. Dulu, akulah yang selalu mencuci bajunya. Aku juga yang masak. Sekarang terbalik. Mulyani terlalu fokus sampai tak sadar aku sedang memperhatikan.

"Sana gih, mandi," sahutnya tanpa menoleh.

Tanpa sadar, aku duduk di sebelahnya. Aku jadi penasaran dengan kulit yang katanya sering luluran. Ternyata memang terawat. Baunya harum. Tak ada noda selain bekas kenakalannya di masa kecil. Apalagi wajahnya. Makin terlihat karena rambutnya dibalut handuk. Dan bulunya memang banyak.

"Ngapain lihatin aku seperti itu?"

"Kumismu rindang."

"Gara-gara kamu aku kumisan!" Mulyani menyipratiku dengan air sisa rendaman. "Sana mandi! Buka kaosmu. Sekalian kucuci."

"Cuci nanti saja."

Mulyani picingkan mata. Secepat mungkin kulepas kaos saat tangannya menunjuk bak. Badanku bergerak sendiri hanya karena bahasa tubuh. Setelah 24 tahun, rasa takutku padanya ternyata masih tersimpan.

"Sekalian celanamu aku cuci. Ayo, sini buka."

Cepat-cepat aku kabur ke kamar mandi.

***

Tanpa terasa, tiga minggu lamanya kami bersama. Cukup singkat. Tapi sanggup mengikis jarak. Semakin lama semakin tipis. Mungkin lebih tipis dari dasternya kemarin malam. Atau kumisnya yang saat ini sudah di-wax.

Mulyani makin lama makin agresif.

"Cieee, dijemput lagi nih?"

"Uhhm ... iya, Pak."

Di depan para guru, wanita itu malu-malu. Dia berpamitan dengan wajah masih menunduk. Setelah itu mencium tanganku dan bersikap lemah lembut.

"Mas, ayo pulang. Mas sudah lapar kan?"

Di luar rumah, Mulyani tak jauh beda dari gayanya saat awal kami berjumpa. Perempuan paling feminim yang aku tahu. Tapi setelah di rumah, dia seperti mengidap kepribadian ganda. Perangainya berubah total. Wanita itu bersorak ceria setelah menyuruh Denise keluar rumah bersama Farhan.

"Yaayy! Akhirnya bisa berduaan."

Semakin lama wanita itu semakin lepas. Perangainya makin mirip Mulyani kecil. Sifat jaim-nya sudah bergeser ke planet sebelah. Sekarang saja sedang memakai singlet tipis. Celananya pun terlalu pendek. Aku kontan alihkan muka saat singletnya mulai melorot.

"Grajagan panas! Kipas anginnya rusak," keluhnya.

Tanganku langsung memencet layar ponsel dan memesan kipas angin. Kutunjukan ponsel itu agar dia mau memilih.

"Beli sesukamu."

Wanita itu memutar badan. Posisinya jadi aneh. Persis gaya tidurnya sewaktu kecil. Badannya masih merebah, tapi kakinya dikaitkan ke punggung sofa. Sedang kepalanya bergelantung di dudukan seperti orang utan.

"Tak perlu yang mahal. Kipas tempel saja."

"Mau AC?"

Mulyani tertawa kecil. Dia raih ponselku dan menjelajahi belanja online.

"Listrik hanya 450 VA. Perlu menambah daya. Tarif listrik mahal," ujarnya dengan mata di depan layar.

Bibirku tersenyum trenyuh. Aku semakin sadar sederhana apa kehidupannya. Kipas angin saja tak sanggup beli. Di rumah itupun tak ada TV. Kulkas juga tak ada. Apalagi mesin cuci. Padahal, 24 tahun lalu rumah itu tergolong kaya.

"Aku bayar bill. Dan rent."

"Gak usah bicara sewa. Bapak bilang ini rumahmu sendiri. Kamu itu anaknya." Dia menjawab tanpa menoleh.

Mulyani masih sibuk belanja online dengan posisi badan terbalik. Sesekali wanita itu mengipasi tubuhnya, sesekali pula menarik singlet yang sudah basah karena keringat.

Aku kaget saat singletnya melorot lagi.

Dadanya kelihatan karena BH-nya kedodoran. Sepasang dada datar seukuran mangkuk sambal. Bahkan bisa kulihat bulu-bulu halus di dada itu. Sebagai pria normal, aku menegurnya dengan bahasa sesopan mungkin.

"Ayu, dadamu seperti mozzarella."

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang