Kalau Besar Nanti ...

739 133 13
                                    

Pohon beringin itu sangat besar dan seram. Banyak rumbai-rumbai di dahannya. Di sampingnya pun ada sungai kecil yang mengalir dari sebuah air terjun. Tepat di sebelah kami. Tingginya mungkin dua kali tinggi badan orang dewasa.

“Ke air terjun yuk! Kita ritual.”

“Hah? Ritual?”

Aku bingung melihatnya telanjang. Lebih bingung lagi saat Mulyani tiba-tiba menyuruhku melepas baju.

“Iya, ritual. Itu tuh, seperti yang ada di film Suzanna.”

Aku semakin takut saat Mulyani menyebutkan film hantu yang kami tonton di layar tancap. Sebisa mungkin memberontak saat dia berusaha menelanjangiku. Aku takut kerasukan. Karena kata orang, setan paling suka merasuki orang telanjang.

“Ayo mandi!” Mulyani semakin kasar.

“Kata Pak Ustadz, cewek sama cowok gak boleh mandi bareng.”

Plak!

Kepalaku dia jitak.

“Aku bukan cewek!”

Plak!

“Ayo mandi! Kita juga sering mandi bareng!”

“Iyaaa, maaf. Jangan pukul aku lagi.”

Gadis itu berhenti kasar setelah aku melepas pakaian. Kami sudah sering bertelanjang ria. Tapi aku tak pernah suka karena manuk-ku sering kali jadi mainannya. Kadang disentil-sentil, kadang ditarik-tarik, kadang dicoret-coret pakai spidol.

"Ayo duduk bersila seperti aku!"

"Begini?"

"Iya. Taruh tanganmu di depan dada."

"Begini?"

"Iya! Seperti di film Suzanna."

Aku mulai tak nyaman saat bibirnya komat-kamit.

“Wahai Kusuma Wardani, kamu harus berjanji membantuku jadi kepala Desa. Kalau kamu melanggar, kamu dikutuk pohon beringin.”

“Hah, dikutuk?”

Mulyani memukulku lagi karena aku hendak kabur.

“Maukah kamu berjanji, Wahai Kusuma Wardani?”

Aku juga mau membantunya. Tapi takut gagal dan dikutuk makhluk halus. Aku tak mau badanku nanti digambari setan seperti Pak Ali. Cepat-cepat kuberi alasan saat Mulyani menyodorkan jari kelingking.

“Ahh ehmmm ... Mul, kan katamu orang dewasa suka bohong. Kalau kita dewasa, kita nanti kita jadi pembohong, dong?”

Mulyani terbelalak. Wajahnya jadi lucu saat ia menatapku. Gadis itu seperti marah, tapi juga bingung. Dia diam terlalu lama hingga aku merasa menang.

“Pulang ah!”

Dia tak suka sikapku itu.

Cepat-cepat kututupi manuk-ku saat Mulyani coba mencubit.

“Kalau kamu gak janji nurutin aku, manuk-mu aku copot!”

“Iya iya! Aku janji!”

Dia sodorkan lagi jari kelingkingnya.

“Wahai Kusuma Wardani, pokoknya kamu harus janji bantu aku jadi kepala Desa kalau kita sudah besar. Kamu gak boleh nolak!”

Kusambut jari kelingkingnya. Tapi masih takut berjanji. Kupilih beralasan dengan memberi pertanyaan lain.

“Kalau aku nanti dewasa, terus aku nikah, gimana? Orang dewasa kan harus menikah? Kan aku gak bisa bantu kamu kalau sudah nikah?”

Lagi-lagi, Mulyani menunjukkan wajah lucu. Wajahnya jadi aneh bercampur bingung. Dia diam melongo menunjukan gigi kelincinya. Gigi ompong yang baru tumbuh. Wajah itu semakin aneh saat aku tertawa menang.

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang