Rayuanku boleh gagal. Tapi aku senang melihatnya berbinar-binar. Rasanya, ada bagian dari diriku yang bergembira saat ini. Mulyani cantik setelah dewasa. Bibir mungilnya masih sama. Mata tajamnya pun masih ada. Hidungnya mencuat ke dalam alias pesek. Apalagi saat tertawa. Aku rindu gigi kelincinya. Dan setelah kami sedekat ini, aku baru sadar bahwa Mulyani punya kumis. Badannya pun dipenuhi bulu-bulu halus.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Ingat childhood."
"Pasti yang jelek-jelek lagi. Awas!" Dia palingkan muka ke arah lain. Kali ini bukan karena malu. Tapi karena jengkel. Dan wajah kesal itu masih sama seperti dulu.
"Kamu cantik, Mulyani. Jadilah dirinya sendiri."
"Jadilah dirimu sendiri."
"Iya, jadilah dirimu sendiri."
Si imut itu batal marah. Dia menolehku lagi dengan bibir penuh senyum.
"Uhhmm, apa kamu ingat semuanya tentang kita? Seperti ... hmmm ..."
"Apa?"
Mulyani kelabakan saat dahiku mulai berkerut. Dia alihkan mata saat kukejar maksud barusan. Aku berpikir keras. Mulyani tak sabaran dan memberi sebuah petunjuk.
"Di pohon beringin, Dani, pohon Beringin. Kamu ingat?"
"Pohon beringin?"
"Banyan Tree."
Mataku sontak melebar setelah Mulyani menterjemahkan. Tempat itu sangat spesial bagi kami. Terang saja, reaksi itu dia respon dengan wajah harap-harap cemas.
"Kamu ingat tempat itu?"
"Yes! Bayan tree, waterfall, air terjun?"
"Iya iya iya! Kamu mengingatnya? Kamu ingat tentang kita di sana?" Wajahnya makin berharap. Dan wajah itu makin mengundang senyum jahilku.
"Aku ingat. Kamu suka pegang my wee wee—
"Huwaaaa! Bukan yang itu! Kamu jadi jahat sekarang." Dia mulai memukulku.
Tanpa terasa, waktu menunjukkan jam tiga pagi. Selama itulah kami bercanda. Masa kecil kami tak ada habisnya diceritakan. Jangankan mengantuk, pantat kami malah menempel di kain sofa. Seakan-akan ada lemnya. Tahu-tahu tanganku sudah merangkul sedari tadi.
"Dani, besok aku mengajar. Tidur yuk!"
"Tidur? Ayo!"
"Maksudku kita tidur sendiri-sendiri!" Dia semakin panik. "Kamu jahat sekarang iiiihh!" Kali ini pukulannya sedikit sakit.
Perasaanku semakin lega. Rongga dadaku seakan melebar. Pertemuanku dengan Mulyani melepas beban yang selama ini ibu tinggalkan. Beban perasaan, penyesalan, kecewa, depresi, putus asa ... sampai-sampai kutanyakan topik pribadi pada dirinya.
"Mulyani, kamu punya su ... su ...."
"Susu?"
Cepat-cepat kubuka kamus saat Mulyani menutupi dadanya sendiri.
"Suami."
"Ah, Suami?" jawabnya agak terbata. Suaranya mendadak pelan. Dia alihkan wajah dan menunduk menatap lantai. "Aku single, Dani. Kamu bagaimana? Apa kamu sudah menikah?"
Gelengan kepalaku lebih cepat dari bor 500 watt. Kupamerkan jari-jariku yang terbebas dari cincin. Sekaligus menunjukkan cincin yang tak muat lagi di jari kami. Cincin yang kubawa dari Amerika. Sebuah cincin yang dia berikan sebagai lambang perpisahan.
"I'm home, Mulyani. Aku pulang."
***
Dua hari Kemudian, aku bangun lagi dengan badan makin segar. Tentunya di ranjang tingkat yang panjangnya sampai ke betis. Perasaanku makin sentimentil. Kesekian kalinya aku tenggelam ke masa silam. Bedanya, Mulyani dewasa tak mungkin mau mengendap-endap di sampingku. Tak mungkin pula tidur bersama. Dia tidur di kamar lain bersama Denise.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...