Setelah menelpon Catherine, keputusanku sudah bulat. Aku akan tinggal lebih lama di Grajagan sebelum pergi ke Jakarta. Kalau bisa beli rumah. Persis saran Winda sebelum dia pergi ke Bali. Pemandu itu masih di sana sampai sekarang. Katanya hanya tiga hari mengurus resign.
“Tak semudah itu, Tuan Wilson. Ijazahku ditahan, hahahaha!” tawanya di layar ponsel. “Tenang saja, aku sudah urus semuanya. Beberapa hari lagi pasti pulang. Kamu baik-baik saja tanpa pemandumu yang cantik ini?”
Bola mataku berputar ke atas. Winda semakin narsis. Gayanya mulai berubah. Wanita itu makin selengekan setelah kami seakrab ini. Atau mungkin memang itulah sifat aslinya.
“Aku punya pemandu sementara.”
“Oh, benarkah? Dia siapa?”
Dengan semangat kuceritakan sosok Denise. Aku selalu bersemangat menceritakannya. Tingkahnya lucu. Denise galak. Apalagi pada orang yang coba-coba memanfaatkanku. Persis sikap Winda waktu memarahi pemilik rumah. Tanpa kuduga, wanita itu memberiku respon serupa, menatapku dengan mata agak terkatup.
“Kamu makin ekspresif sekarang. Padahal kemarin-kemarin kamu dingin seperti mentimun. Ternyata pria sepertimu bisa tertawa.”
“Benarkah, apa kamu juga akan bilang aku pria paling tampan?”
“Hoeeek! Dan sekarang lebih narsis. Sebenarnya ada apa sih?”
Sudut bibirku perlahan naik. Kuceritakan padanya asal muasal pertemuanku dengan Denise. Termasuk kunjunganku ke pohon beringin. Sejujur mungkin kuceritakan apa yang kurasa di pohon itu. Termasuk sebuah ingatan akan janji masa kecilku. Sebuah janji bahwa di sanalah aku dan Mulyani seharusnya bertemu lagi.
“Apa boleh buat, 24 tahun terlalu lama. Setidaknya aku senang dia sekarang berbahagia. Aku bersyukur dia menikah dan memiliki seorang puteri selucu Denise.”
Winda senyum-senyum saat aku berceloteh. Tak biasanya aku bicara sepanjang itu. Wajahnya semakin sendu di layar ponsel. Persis gaya Megan dan Catherine belakangan ini. Wanita itu bicara lagi dengan mata agak terkatup.
“Danny, kalau Denise jadi puterimu, kamu bersedia?”
Dahiku sontak berkerut.
Winda gelagapan saat kutanya maksud barusan.
“Ah, maksudku, andai kamu punya anak, apa kamu mau anakmu nanti seperti Denise?”
“Sudah pasti lah. Gadis itu cerdas, hahaha!” balasku sambil tertawa.
***
“Namwa kami Wilson. Kamuh saiapah?” ucapku dalam Bahasa Indonesia. “Is this correct?”
Lawan bicaraku menggeleng cepat dengan wajah agak kesal. Dia pukul papan kecil yang dia bawa, bicara padaku dengan tangan berkacak pinggang.
“Wrong! You have to say ‘Saya’. Not ‘kami’. ‘Saya’ is I, ‘kami’ is We. Say it one more time!”
“Okay, Bu Guwru.”
Aku susah fokus. Bukan karena tidak bisa. Tapi karena Denise terlalu mirip dengan ibunya. Berkali-kali aku tenggelam ke masa lalu. Gara-gara Denise, aku sering melamun dengan bibir penuh senyum.
Jika aku menikahi Mulyani, apa puteriku selucu dia?
Plak!
“Aww!” Kugosok-gosok pantatku yang dia pukul pakai penggaris.
“Say it once again!”
Serius, mereka seperti pindang dibelah dua. Denise juga mata duitan seperti ibunya. Bermodal sifat itu dia setuju saat kutawari jadi guru privat.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...