Si Asyu

727 111 2
                                    

"Ayo ke Pak Totok. Mumpung masih pagi. Waktunya cari uang."

Hari ini, Pak Totok, ustadzku dulu, baru tiba dari Jember. Dengar-dengar kulakan petasan. Beliau beli dari kota itu untuk dijual ke anak-anak. Hari ini pula Mulyani pergi sambil membawa celengan ayam. Tabungannya untuk jadi kepala desa. Aku jelas penasaran karena dia tidak biasa.

"Beli banyak buat apa sih? Itu kan tabunganmu?"

"Ini bisnis, Dani! ini bisnis!"

"Bisnis itu apa?"

Mulyani tidak menjawab. Langkah kakinya semakin cepat. Aku berlari mengikutinya tanpa perlu banyak bertanya. Syukurlah kami datang di waktu yang tepat. Guru ngajiku sedang berdiri di depan rumah, memasang papan bertuliskan jual petasan.

"Akhirnya, aku bisa menang dari si Asyu! Hahahaha!"

Aku tak pernah main petasan seperti anak-anak lain. Apalagi membelinya. Tahun ini pertama kalinya bisa main petasan setelah berteman dengan Mulyani. Pasti seru. Meski sayangnya, gadis itu beli petasan bukan untuk dimainkan.

"Pak Totok, berapapun stok-nya aku beli semua!"

"Mau dijual lagi?"

"Iya, aku beli semuanya!"

Ustadz-ku tertawa pelan saat Mulyani menyodorkan celengan ayam. Pak Totok menggelengkan kepala dan menolak permintaannya.

"Semua petasan ini pesanan Asyu. Maaf ya Nduk."

"Kan aku datang duluan? Pak Ustadz ini gimana sih?"

Pak Totok hanya tersenyum. Beliau tidak marah saat Mulyani bersikap galak. Tapi belum sempat beliau menjawab, seseorang lebih dulu menegur kami dari belakang.

"Jangan diambil hati, Ali Pritil. Ini cuma bisnis."

Deg!

Mataku melebar. Tak seorangpun di Desa Grajagan yang berani menyebut Mulyani dengan nama seorang ayah. Itu penghinaan. Hanya orang gila yang berani melakukannya. Dan saat ini, orang gila itu sedang berdiri di belakangku.

"Uuuh, Ali Pritil mau nangis ya?"

Mulyani langsung meraih kerah bajunya. Mendekatkan wajah seperti orang mau ciuman.

"Hei, Hasyim Keparat, kamu menantangku?" Dia mengancam pelan, menyebut nama ayah dari anak itu. "Mau kepalamu benjol, hah? Bilang saja!"

"Hohoho, ini persaingan bisnis, Nona. Kamu memang datang duluan. Tapi aku sudah pesan dari kemarin. Sudah kasih DP ke Pak Totok. Kamu mau apa?"

Anehnya, Mulyani justru mengalah. Gadis itu melepaskan cengkraman dan memilih mundur teratur. Aneh sekali. Padahal, lawan itu masih juga memojokkannya dengan kalimat yang sama sekali tidak bisa aku pahami.

"Bisnis itu harus licik, Ali Pritil. Setelah ini bisnis petasan aku monopoli, bwahahaha!"

***

"Satu ... dua ...."

Dar!

Sore harinya, suara letusan menggema hebat di balik perahu. Aku bersembunyi bersama Mulyani dengan tangan menutup kuping. Serpihan tahi berhamburan karena ledakan. Dengan penuh semangat kami cari tahi lain untuk disulut petasan rawit.

"Mulyani, banyak banget tahinya!"

"Iya, hari minggu festival berak di pinggir pantai." Gadis itu ikut semangat. "Lihat tuh! Tahinya masih segar! Masih benyek!"

Mulyani mengeluarkan petasan rawit yang kami beli dari Pak Totok. Dia tekuk petasan itu, menancapkannya ke tahi orang, setelah itu menyulutnya dengan potongan obat nyamuk. Persis kue ulang tahun. Kami berlari secepat mungkin demi menghindari serpihan tahi.

"Happy birthday!"

Dar!

Pyok!

"Hahahaha!" Aku tertawa saat tahinya berhamburan kemana-mana.

Mulyani bilang, begitulah cara benar main petasan. Ternyata sangat menyenangkan. Padahal, Pak Kasun sudah melarangnya. Orang-orang pun pasti marah kalau tahi mereka kami ledakkan. Karena katanya, barang siapa yang tahinya kena mercon, lubang pantatnya jadi gosong.

Hiiii!

Pantas saja pantat orang dewasa hitam-hitam.

Karena itu pula kami berak di dalam lubang.

"Yaaahh, habis deh ..." Mulyani kecewa karena tak punya petasan lagi. "Gara-gara Asyu nih. Anak itu licik! Masa petasannya dia jual lagi dua kali lipat? Urrgghhh!"

Bocah itu bernama si Asyu. Nama lengkapnya Mahesa Asyura atau siapalah. Dia seumuran Mulyani dan sama-sama tak naik kelas. Bisa dibilang, si Asyu lebih bodoh dari gadis itu. Sekaligus lebih nakal. Aku tak mengerti permusuhan mereka. Tapi aku tahu selain Mulyani, Asyu adalah anak yang sangat pandai mencari uang.

"Ini kan demi cita-citamu? Jangan marah ya? Uangnya mending ditabung." Aku coba menasihati. "Buat kita nikah nanti."

"Ah iya, buat kita nikah, hahahaha!"

Mulyani berhenti mengeluh setiap kusinggung cita-cita kami. Gadis itu bersungguh-sungguh. Dia tak marah lagi seperti tadi. Mulyani justru bersemangat di sepanjang perjalanan pulang.

Bersemangat membahas Asyu.

Dan aku paling tak suka karena itu.

"Dani, kamu tahu gak? Asyu itu hebat loh."

"Hebat apanya? Dia cuma anak nakal."

"Dia pinter cari duit, loh. Aku saja belajar bisnis sama dia."

Apa itu bisnis?

Pak Guru tidak pernah ajarkan itu.

Aku mulai kesal karena Mulyani masih juga memujinya.

"Cita-citanya Asyu lebih besar dari aku loh. Katanya, kalau besar nanti cita-citanya menguasai dunia."

"Cih! Cita-cita apanya? Monster di Power Ranger juga mau menguasai dunia," balasku buang muka. Bukannya memahamiku, Mulyani justru makin cerewet.

"Iya juga sih, si Asyu itu jahat. Dia seperti monster di Power Ranger. Hobinya menipu orang. Tapi karena itu juga duitnya banyak. Aku yakin, besar nanti dia jadi orang kaya, huahahaha!"

"Ya sudah, nikah saja sama dia. Kan katanya kamu mau nikah sama orang kaya? Sana sana nikah sama si Asyu!"

"Kok kamu marah-marah sih?"

Mulyani masih tak sadar.

Dahinya terkernyit saat aku silangkan tangan.

"Kamu kenapa sih? Kok suka marah kalau aku deket-deket si Asyu?"

Aku tidak bisa menjawabnya. Aku juga tak tahu kenapa marah karena itu. Aneh sekali. Aku mulai tak suka melihat mereka berdekatan.

Siapa sih Asyu?

Dia kan cuma anak nakal?

"Dani, aku gak akan nikah sama dia."

"Beneran?"

"Iya, tenang saja. Lagian Bapak juga gak mau aku berteman sama si Asyu. Bapak bilang, Si Asyu pacarnya banyak. Kecil-kecil suka merayu."

Aku senang walau tak paham dengan apapun yang dia jelaskan. Aku hanya paham bahwa menikah tinggal serumah.

Jika Mulyani nanti menikah dengan si Asyu, aku tinggal dengan siapa?

Aku tak mau dia usir dari rumahnya.

"Pokoknya gak boleh nikah sama cowok lain! Awas! Dan gak boleh deket-deket."

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang