“Adik-adikmu ini Prah, hahahaha!”
Entah apa yang lucu dari kami. Pak Ali masih tertawa sampai sekarang. Apalagi setelah bercerita dengan Mbak Prah yang baru datang. Wanita itu sampai sakit perut dan memelukku dengan gemasnya.
“Jangan nikah sama Mulyani. Nikah sama Mbak Prah saja. Ya ampun adikku ganteng sekali. Nikah sama Mbak Prah ya?”
“Gak mau!”
Aku berontak sebisa mungkin. Mbak Prah kalau memeluk sering kasar. Kepalaku sering dia benam-benamkan ke teteknya yang besar itu. Aku sampai tak bisa napas. Untunglah Pak Ali menolongku. Pria itu membelai rambutku dan memberi pertanyaan aneh.
“Kamu mau jadi menantuku?”
“Menantu itu apa?”
“Menantu saja gak tahu? Hahahaha!” Mbak Prah sampai ndekik-ndekik kena asma.
Aku semakin bingung. Apalagi Mulyani. Kami tak mengerti kenapa mereka malah tertawa. Gadis itu mencolek lenganku agar aku bertanya lagi.
“Pak Ali, menikah itu apa sih?”
“Menurutmu, menikah itu apa?”
Sekali lagi, aku dan Mulyani saling menoleh. Sekali lagi pula dia colek lenganku agar aku menjawabnya.
“Kata Mulyani, menikah itu cowoknya naik dua gunung, ceweknya manjat tiang listrik. Setelah itu punya anak deh.”
Mata Pak Ali kontan melebar. Apalagi Mbak Prah. Tawa mereka semakin keras. Aku jadi heran dan menanyakan pertanyaan lain.
“Pak Ali dulu manjat gunung apa?”
“Hahahaha! Sudah sudah sudah! Perutku sakit! Ini pasti gara-gara Hadi memberi jawaban seenaknya.”
Ternyata, orang dewasa harus menikah kalau mau tinggal serumah. Begitulah yang Pak Ali katakan. Aku dan Mulyani harus menikah kalau mau hidup bersama. Kami nanti mengundang warga, menggelar hajatan, memberi warga kue-kue, baru lah setelah itu naik gunung dan manjat tiang.
Oh, begitu ya?
"Dani ..." Mulyani agak berbisik.
"Iya?"
"Selama ini kan kita tinggal bersama?"
Mataku melebar. Begitu pula Mulyani. Kami baru sadar selama ini sudah menikah. Mulyani berpikir sama. Gadis itu kontan berlari saking paniknya.
"Mau kemana?"
"Cari tiang listrik."
***
“Yaaah, aku harus pulang deh.”
Kegiatan menginap yang awalnya terpaksa, saat ini jadi menyedihkan karena aku harus pulang. Ingin rasanya aku pindah dan jadi anaknya Pak Ali. Tapi kata orang, aku tak bisa menukar bapak seperti sedang menukar mainan. Aku sudah malas pulang kalau boleh jujur. Aku terlalu malas sampai-sampai Mulyani antar.
“Tenang saja, Dani, selama ada aku, kamu pasti aman.”
“Tumben gak memanggilku kerang keriput?”
“Kita nanti kan sudah menikah? Yayyy!” Dia teriak-teriak sendiri tidak jelas. Setelah itu diam sejenak, lalu nampak berpikir dengan dagu mengangguk-angguk. “Dani, sudah besar nanti, kamu harus jadi orang kaya. Kata Bapak, aku hanya boleh nikah sama orang kaya.”
Hah orang kaya?
Apa lagi ini?
Kok jadi tambah repot?
Padahal, dia sendiri yang memaksaku untuk membantu cita-citanya. Dia juga yang memaksaku menikahinya gara-gara perdebatan. Entah hilang kemana cita-citanya untuk jadi kepala desa. Minatnya jadi teralih ke pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...