Mantera Ajaib

598 111 6
                                    

Waktu terus berlalu tanpa terasa. Hampir setahun aku tinggal bersama Mulyani, kemana-mana selalu bersama. Aku tak mau jauh darinya karena gadis itu bisa diambil anak lain. Terutama si Asyu. Pokoknya kutempel terus. Aku sampai lupa sejak kapan kami sering bergandeng tangan.

Seperti malam ini.

Kami jalan berdua menyusuri ramainya desa.

“Dani, petik laut ini ramai sekali. Banyak orang jual mainan.”

“Kamu mau beli?”

Mulyani menggeleng.

“Kita harus nabung. Gak boleh boros. Ayo jalan-jalan!”

Lampu-lampu bersinar terang di kanan kiri jalanan desa. Suara diesel riuh menggema agar lampunya tetap menyala. Menerangi lapak-lapak penjual mainan. Begitu pun lapak lomba berhadiah. Ada pula lapak lotere, sampai berbagai macam permainan pasar malam.

Ramai sekali.

Grajagan selalu ramai setiap ada petik laut.

“Kalau aku jadi kepala desa nanti, setiap hari ada petik laut!”

“Memangnya bisa?”

“Ya bisa lah. Biar kita bisa main terus.”

“Ooo ....”

Kucatat permintaan itu. Apapun yang dia minta, aku janji mengabulkannya setelah besar. Aku tak mau Mulyani kecewa dan menikahi anak lain. Terutama dengan si Asyu. Aku kesal karena Mulyani sering membahas si setan itu.

Bicara setan, si setan itu ternyata ada di sebelahku.

“Lempar gelang lempar gelang! Tarik benang tarik benang! Ayo siapa mau bertaruh! Lima puluh perak sekali main!”

Kami kaget melihat si Asyu di depan lapak. Semacam lapak judi di antara penjual mainan. Anak itu sedang jualan saat yang lain sibuk bermain.

“Hai Mulyani, hai Dani, mau main? Ayo, cuma 50 perak sekali main.”

“Tumben manggil namaku? Biasanya manggil Ali Pritil,” sahut Mulyani ketus. Buang muka saat Asyu menghampirinya.

“Ayolah cantik. Kamu makin cantik sekarang. Pasti lebih cantik lagi kalau pakai bando itu.”

Secepat mungkin kudorong dia saat merangkul Mulyaniku.

”Jangan dekat-dekat!”

Si Asyu kernyitkan dahi. Setelah itu terbahak-bahak. Dia gantian merangkulku dan menjauhkanku dari Mulyani.

“Kamu lihat? Pacarmu tambah cantik sekarang,” bisiknya.

Cantik?

Aku tak tahu yang dia maksud.

“Maksudnya, Mulyani itu makin kelihatan seperti cewek sejak bareng sama kamu.”

“Masa?”

Si Asyu mengangguk-angguk. Dia lirik sebuah bando yang sebelumnya dia tawarkan.

“Kalau Mulyani pakai itu, pasti lebih cantik lagi.”

“Hah? Masa sih?”

“Ya iya lah. Apalagi kalau kamu membelikannya, Romeo.”

“Kalian ngomong apaan sih?” Mulyani nyeletuk. “Dan sejak kapan kalian akrab?”

Senyum Asyu kian melebar. Rangkulannya semakin akrab di pundakku saat menunjuk lapak sebelah. Meminta Mulyani untuk melihat bermacam mainan. Terutama topeng Power Ranger. Si Asyu bicara lagi setelah berhasil mengusirnya.

“Dani, melempar gelang itu gampang kok. Kamu pasti bisa.”

“Masa?”

“Iya, coba saja. Cuma 50 perak sekali lempar. Khusus buat kamu, empat kali lempar cuma 200.”

Aku meragu. Jangankan melempar gelang, baru kali ini aku main di ramainya petik laut. Sebelumnya hanya di rumah karena ayahku suka marah.

“Ayo Dani, masa sih gak mau kasih hadiah ke Mulyani?”

Tanpa banyak bicara, kukeluarkan dua ratus perak dan mengambil empat gelang. Mumpung dapat bonus. Kulemparkan gelang itu dengan harapan bisa tersangkut di bungkus bando.

Hasilnya?

Semuanya gagal. Bukannya tersangkut di bando, empat gelang itu malah tersangkut di kotak rokok. Ada Marborok, Dzarum Super, Bentul dan Gudang Gula.

“Kamu hebat, Dani! Semuanya kena! Yaaay!” Mulyani malah memujiku karena semua kegagalan itu. “Rokok itu pasti mahal kalau dijual ke orang dewasa.”

Sebisa mungkin kusembunyikan wajah muram. Uang jajanku hanya 200 perak. Dan semuanya hangus gara-gara rayuan Asyu. Meski anehnya, wajah penipu itu lebih muram dari wajahku.

“Ak—aku bangkrut ....”

“Hah?”

“Bwahaha! Gak apa-apa.” Asyu tersenyum lagi. Dan sekali lagi dia merangkulku jauh-jauh dari Mulyani. “Berhubung kita teman, duitmu aku balikin. Mau? Sekaligus bando itu jadi milikmu.”

“Beneran?”

“Iya, kita kan teman?”

“Iya, kita teman!”

Senyumku jelas melebar. Mulyani salah. Si Asyu bukan penipu. Dia anak baik. Bukan hanya mengembalikan uangku, dia juga memberiku barang gratis.

"Tapi ada syaratnya, Romeo."

"Hah?"

Asyu celingukan sejenak.

“Setelah ini, bilang ke Mulyani kamu tadi gak bayar.”

“Hah? Kenapa?”

“Pokoknya nurut saja.”

Aku meragu. Berbohong itu dosa. Dan aku tidak mau melakukannya.

“Dani, kalau kamu mau nurut, aku janji gak akan deketin Mulyani.”

“Kamu mau janji gak nikah sama dia kalau sudah besar?”

Pedagang itu mengacungkan dua jarinya.

Tidak salah lagi! Si Asyu anak baik! Bukan hanya berjanji, pedagang kecil itu juga memberi hadiah lain. Semacam mantera rahasia yang dia dapat setelah bertapa di tempat angker.

“Kamu setuju, bukan? Dengan mantera ini, Mulyani selamanya akan lengket sama kamu. Suwer!”

“Baiklah! Aku bilang ke Mulyani kalau aku tadi gak bayar.” Aku menjawabnya agak terburu.

***

“Kamu mau-maunya dikibulin si Asyu!”

Sepulang dari pasar malam, Mulyani masih kecewa. Dia masih merengut karena gagal mendapat rokok. Padahal, aku sudah bilang lemparan tadi  ujicoba. Tidak bayar sama sekali. Persis ucapan Asyu.

“Rokok tadi kalau dijual pasti banyak banget loh. Marborok saja sebungkusnya 1400 perak.”

Aku memilih diam karena Asyu sudah janji tidak akan mendekati Mulyani. Apalagi menikahinya.

“Anaknya Hasyim itu tukang tipu! Masa kamu gak boleh melempar lagi? Padahal lemparanmu jago.”

“Jangan marah dong.”

“Aku marah lah! Coba saja kalau tadi kamu bayar. Kita pasti kaya!”

Mulyani semakin ngambek. Cara berjalannya semakin cepat tanpa mau mendengar lagi. Gadis itu benar-benar marah. Sedangkan aku, kulihat lagi bando kelinci yang dari tadi kusembunyikan. Asyu bilang, cewek manapun pasti senang kalau mereka diberi kejutan.

Aku tak sabar mencobanya. Aku juga tak sabar ucapkan mantera yang katanya mantera ajaib. Dan saat Mulyani menungguku di depan pintu, kupasangkan bando itu ke rambutnya yang makin panjang.

Ternyata, gadis itu berhenti marah. Apalagi saat kuucap mantera ajaib sambil menatap dua matanya.

“Mulyani ... aku sayang kamu.”

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang