Cara Bikin Anak

853 124 6
                                    

"Dani betah di sini?"

"Iya, Pak. Aku senang di sini."

"Senang jadi anaknya Bapak?"

"Iya, Pak. Aku mau jadi anaknya Bapak."

Pak Ali tersenyum kalem. Matanya berkaca-kaca saat melepas bekas perban di kepalaku.

"Sana. Main sama Mulyani dulu. Bapak mau mandi."

Sebulan berlalu sejak kepalaku dijahit Dokter. Sebulan pula aku dan Mulyani selalu bersama setiap harinya. Bukan lagi sabtu dan Minggu. Aku tinggal di rumah Pak Ali setelah rumahku dijual ibu.

Aku sedih tak punya rumah. Aku sedih kepalaku dilukai ibu sampai dijahit seperti bantal. Tapi aku senang karena sejak saat itu, Pak Ali memintaku jadi anaknya.

Iya, aku anak Pak Ali sekarang. Dia berbeda dari bapak-bapak lain. Tak pernah marah pada kami. Tak pernah pula menyebut kami anak nakal. Apalagi anak bodoh. Pak Ali justru sering bilang kalau kami nanti pasti jadi orang besar.

Orang besar itu apa?

Apa badan kami nanti besar-besar seperti manol?

“Dani, kepalamu masih sakit?” Mulyani bertanya sambil meraba ujung keningku. Wajahnya terlihat cemas. Kuraba pula bagian itu untuk sekadar mencari tahu.

Tidak sakit.

Tapi kurasakan ada benjolan kecil-kecil.

“Rasanya geli dan aneh.”

"Iya. Hahahaha! Nih, kepalaku juga pernah bocor dilempar bata." Dia tunjukan bekas luka di dahinya.

"Apa nanti bisa sembuh?"

Mulyani menyilangkan tangan dan menggeleng.

"Jidatmu gak bakalan sembuh kalau nanti menikahnya sama cewek lain. Nanti bekas lukanya gerak-gerak seperti kelabang. Terus pindah ke hidung. Bisa-bisa pindah ke manuk-mu."

"Aku gak mau!"

"Makanya. Nanti kalau bisa kita harus nikah. Soalnya jidatmu itu dirasuki penghuni beringin. Awas!"

Aku begidik mendengarnya.

"Iya deh, aku nanti cuma mau nikah sama kamu."

Dulu, sebelum akrab dengan Mulyani, aku jarang bicara. Teman bicaraku hanyalah nenek atau Pak Totok guru ngajiku. Selain itu tak ada lagi. Aku tak punya teman seumuran. Ayahku pun tak pernah mau mengajak ngobrol, apalagi ibuku. Seorang ibu yang sekalinya pulang membuat kepalaku dijahit dokter.

Aku bahagia saat ini punya keluarga.

“Bapak nanti ke Banyuwangi. Kalian jadi anak baik, ya?” ujar Pak Ali sambil memakai jaket jeans. Tak lupa pula topi koboi dan kacamata hitam.

"Mau ke ibuk?" balas Mulyani.

"Iya. Bapak kangen ibumu."

“Berapa hari, Pak?”

Seusai dandan, pria itu langsung jongkok di antara kami. Kebiasaan Pak Ali setiap kali mengajak bicara. Aku selalu nyaman saat dia melakukannya.

“Mungkin tiga hari.”

“Mbak Prah nanti ikut kesini?”

“Enggak. Sekarang kan sudah ada Dani? Kamu mandi dulu gih. Cewek harus bersih.”

Mulyani mengangguk cepat. Sejak kami hidup bersama, Pak Ali sering bepergian. Mbak Prah juga bekerja. Dia bilang aku anak bertanggung jawab. Calon menantu baik, katanya. Aku bisa masak, bersih-bersih, cuci baju, sampai menemani Mulyani belajar di rumah.

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang